Monday, January 16, 2012

Foucault : Sex, Identitas, dan Kekuasaan


Berawal dari sebuah pertanyaan yang saya ajukan dalam diskusi dengan sekretaris organisasi Arus Pelangi, organisasi yang  bertujuan menangui dan mengadvokasi hak-hak  LGBT(Lesbian, Gay, Bisex, dan Transgender) di Jakarta, tulisan ini lahir. “Kenapa saya lihat dalam hubungan gay atau lesbian, ada relasi feminim dan maskulin, layaknya hubungan hetero sexual?”, demikianlah pertanyaan itu menjadi penghantar diskusi dalam interview saya waktu itu dan tulisan ini sekarang. 

Jelas sudah pertanyaaan ini tetap terbuka, bahkan setelah saya meninggalkan markas Arus Pelangi di Tebet, setengah tahun yang lalu. Saya tidak bilang, tidak mendapat jawaban disana, kenyataan pertanyaan itu tetap misteri bagi saya ataupun nara sumber. Sejauh yang kami telusuri dalam diskusi, kesimpulannya adalah karena gay atau pun lesbian tidak memiliki role model relasi hubungan, sehingga mereka meminjamnya dari hetero. 

Karenanya, kini kita disuguhi pemandang dalam hubungan gay, ada mereka yang membuatkan kopi, sementara pasangannya menunggu sambil membaca Koran. Begitu pun dalam hubungan lesbian, seorang bermain bola dan pasanganya menunggu di pinggir lapangan sambil memegang botol air mineral dan handuk.

Bukankah seharusnya dalam ranah kultural seperti gay dan lesbi peluang untuk mengatasi apa-apa yang menjadi masalah dalam hubungan hetero (patrialki misalnya), lebih terbuka, lebih mungkin melahirkan relasi yang sama sekali berbeda dengan relasi heteronormativitas? baru belakangannya saya menyadari, setelah perjumpaan yang tidak disengaja dengan teks Foucault, “Frinedship as a way of life”, lenyapnya potensi kreatif membangun ranah kultural yang sama sekali berbeda itu diakibatkan pandangan akan identitas yang esensial. Apa yang ditiru pasangan LGBT dari relasi heterosexual, bukanlah relasi hubungan, melainkan relasi hasrat yang membentuk diri.  


Feminisitas dan maskulinitas dalam hubungan hetero, adalah bentuk dari pernyataan eksistensi atau “modus mengada”. Sex dengannya menjadi bentuk peneguhan diri, melaluinya kita dikenali sebagai subjek. Rupanya advokasi atau upaya pembebasan terhadap tirani sexualitas yang selama ini membelenggu kalangan LGBT juga beroperasi dengan cara ini. Cara yang menurut Foucault justru dapat mematikan potensi untuk melipat gandakan hubungan.

Upaya advokasi kalangan LGBT  kerap kali dimaknai sebagai upaya membebaskan sexualitas mereka dari kekangan heteronorativitas. Perjuangan itu adalah perjuangan untuk menerima diri sendiri, atau disimbolkan sebagai “keluar”. Artinya menyatakan diri atau keluar dari persembunyian dan penolakan untuk menerima diri yang LGBT. 

Dalam tirani sexualitas modern yang bekerja dengan logika oposisi biner, tidak ada kemungkinan diluar kerangka hubungan lelaki dan perempuan. Menyatakan diri sebagai LGBT adalah perlawanan tersendiri dan merupakan kemenangan pertama manusia LGBT, sebelum perjuangan diwilayah sosial dan politik untuk mendapat tempat dan pengakuan. Demikianlah seruan untuk “keluar” bagi para LGBT nyaring terdengar. 

Seruan itu adalah ajakan untuk menyatakan identitas dihadapan peradaban yang menolak kehadirannya, karena itu ia terdengar sumbang. Suara itu tidak hanya sumbang dalam konteks peradaban yang ingin dilawannya, yang berpegang pada hukum alam dan narasi agama modern.   kesumbangan itu juga, terdengar dari nada perlawanannya yang terperangkap tiranis sexualitas itu sendiri.  “Another thing to distrust is the tendency to relate the question of homosexuality to the problem of “Who am I?” and “What is the secret of my desire?” (Foucault, Friendship As A Way Of life).

Problemnya adalah ketika sexualitas dimaknai sebagai sebentuk identitas diri, maka apa yang beroperasi adalah hasrat. Manusia LGBT yang telah meninggalkan diri yang “tertutup” dan “keluar”, merasa telah menemukan dirinya yang hakiki, menerimanya eksistensinya sebagai LGBT. Dari sini kita melihat, sexualitas tidak pernah terlepas dari motifnya, yaitu peneguhan subjek, diskurusus sexualitas semacam ini patut dicurigai. Meski terlihat seperti pembebasan karena melepaskan hasrat, namun juga  sekaligus bertendensi untuk menginstuisonalisasi homosexualitas, menjadikannya hukum dan aturan yang mesti dipatuhi subjek-subjek yang mengaku homosexual. 

I would like to say, finally, that something well considered and voluntary like a magazine ought to make possible a homosexual culture, that is to say, the instruments for polymorphic, varied, and individually modulated relationships. But the idea of a program of proposals is dangerous. As soon as a program is presented, it becomes a law, and there’s a prohibition against inventing (Foucault, Freindship as a way of life).

Membicarakan sexualitas dalam kerangka hasrat, tidak akan membebaskan manusia dari kuasa/pengetahuan modern yang berupaya menaklukan tubuh. Selamanya dalam pandangan psikologi dan psikiatri hasrat adalah patologis. Menyatakan hasrat sexual sama dengan mengklasifikasikan diri sendiri dalam kategori ilmu psikologi dan psikiatri. kita butuh proyek sexualitas yang berbeda dalam upaya membicarakan LGBT. 

Sebagai alternatif, Foucault  menawarkani “etos penolakan kreatif” terhadap tirani sexualitas modern. Dalam upayanya mengurai benang kusut sexualitas, Foucault pertama-tama membedakan antara hasrat dan kenikmatan. Bila hasrat adalah upaya penenguhan subjek melalui praktes sexual, maka kenikmatan adalah praktek sexual itu sendiri yang tidak memberi batasan pada diri. Kenikmatan dengannya tidak dapat diklasifikasikan, ia lebih berupa penemuan-penemuan yang tetap tak bernama.

One of the concessions one makes to others is not to present homosexuality as anything but a kind of immediate pleasure, of two young men meeting in the street, seducing each other with a look, grabbing each other’s asses and getting each other off in a quarter of an hour. There you have a kind of neat image of homosexuality without any possibility of generating unease… (Foucault, Friendship as a way of life).

Bagi Foucault dengan sendirinya membebaskan LGBT dari tirani sexualitas sama dengan  membebaskan mereka dari sexualitas itu sendiri. Alih-alih membebaskan hasrat, Foucault mengajak lebih jauh lagi untuk membebaskan diri dari hasrat dan memperluas daya tangkap kita dalam mencerap kesenangan/kenikmatan. Hanya dengan begitu sexualitas bisa tampil sebagai praktek  tanpa harus dihubungkan sebagai upaya menemukan subjek lewat diskursus agama maupun ilmu modern. Pada akhirnya, proposal FIucault adalah untuk mulai melihat hubungan homosexual sebagai cara “mengada” atau jalan hidup. Dengan kata lain, manusia LGBT tidak berhenti menjadi homosex, tapi mulai melihat potensi dalam aras kultural yang dimungkinkannya. “Perhaps it would be better to ask oneself, “‘What relations, through homosexuality, can be established, invented, multiplied, and modulated?”” (Foucault, Friendship as a way of life).

Melalui wawancaranya dengan majalah “Le Gai Pied”  yang berteman “friendship as a way of life” Foucault mengajak pembacanya untuk mulai memikirkan hubungan gay sebagai bentuk perluasan dari persahabatan pria. Suatu cara yang didalamnya kita dapat membayangkan dimana sesama lelaki  berbagi kesedihan, kebahagian, pengetahuan,  dan ruang yang lebih privat diluar institusi seperti profesi, keluarga, ataupun ketentaraan. Suatu formasi sosial yang sama sekali baru.

Pada fragmen terakhir dalam history of sexuality, yang tidak sempat dirampungkannya, Foucault telah memikirkan suatu bentuk formasi sosial baru yang memungkinkan pasangan sejenis membangun hidup. Kemungkinan itu baginya ada pada ranah persahabatan. Alih-alih terus memaksakan diskursus homosexual untuk diakui dalam institusi seperti keluarga, Foucault memilih mengeksplorasi potensi persahabatan yang merupakan ranah kemungkinan yang masih terus bergerak, tempat dimana pola-pola relasi terus diuji cobakan. Persahabatan sebagai jalan hidup, merupakan eksperimen Foucault untuk memberi jalan keluar dari tirani sexualitas yang terus “menghantui” relasi antar manusia, seperti yang kerap kali di dakwahkan oleh para pengikut “Freud”.

“Persahabatan sebagai jalan hidup”, sekaligus pengukuhan sexualitas sebagai “masalah kemenjadian” dan bukan “masalah penemuan”. Sex bukanlah tempat kita menemukan kedirian atau self (sebagai perempuan/laki-laki/hetero/homo) melainkan relasi yang darinya kita mesti bertanya apa yang dapat dimungkinkan dari suatu model hubungan? Etika Foucaldian semacam ini, tentu saja tidak hanya berlaku dalam konteks pembebasan kaum homosexual, melainkan juga dalam relasi hetero sekalipun, karena hanya dengan begitu ia memungkinkan bagi suatu upaya pembebasan. Pasalnya, upaya pembebasan Foucaldian adalah mengelak dari segala bentuk identitas yang berusaha merumuskan subjek atau menentukan hukum dan aturan tentang praktek sexual ataupun bagaimana sesama individu seharusnya saling mencintai. Sebaliknya terus menerus membuka kemungkinan kearah suatu formasi sosial yang terus “menjadi”.


The program must be wide open. We have to dig deeply to show how things have been historically contingent, for such and such reason intelligible but not necessary. We must make the intelligible appear against a background of emptiness and deny its necessity. We must think that what exists is far from filling all possible spaces. To make a truly unavoidable challenge of the question: What can be played?( (Foucault, Friendship as a way of life).

1 comment:

  1. Hai, aku boleh minta referensi judul buku-buku/tulisan focault tentang homoseks?

    ReplyDelete