Wednesday, July 3, 2013

Politik Niat Baik


Gerakan mahasiswa kini kian jatuh pada populisme. Protes tidak lagi  menjadi praktek menelanjangi masalah dan menunjukkan kompleksitas persoalan. Sebaliknya, jadi ajang jampe moral dan peluapan emosi. Apa yang benar adalah apa yang dikehendaki banyak orang. Berbeda sikap dengan harapan banyak orang sama saja tidak punya nurani. Begitulah kira-kira semangat protes terhadap rencana kenaikan harga BBM beberapa hari kebelakang.

Tengok saja seruan yang di usung mahasiswa dalam protesnya,"BMM naik, rakyat menderita", "BBM mahal = Neolib", "Harga BBM naik, rakyat tercekik". Tentu saja kita bisa bilang ini bahasa poster, namun faktanya argumen yang diajukan sebagai penolakan atas rencana kenaikan BBM pun tidak jauh berbeda. Ibarat lagu lama aransemen baru. Isunya masih “berkubang” di seputar liberalisasi ekonomi.


Banyaknya kilang minyak yang dikuasi oleh perusahaan asing dianggap sebagai sumber dari kapitalisasi dan naiknya harga komoditas minyak. Argumentasi semacam ini hampir menjadi mitos, dengan plot narasi yang berporos pada dua kutub, dimana asing menandakan kejahatan juga ekspolitasi dan nasionalisme sebagian tanda kebaikan serta kemaslahatan. Dengan hampir tanpa upaya menyuguhkan data yang dapat dipercaya dan elaborasi argumentasi yang memadai. Cara pikir semacam ini misalnya dapat terlihat pada berita di Kompas.com yang menampilkan ungkapan seorang mahasiswa pendemo yang mengatakan:

“"Kebijakan pemerintah untuk memproteksi sumber-sumber minyak bumi itu lemah. Pertamina hanya memproduksi 15 persen dan 85 persen diproduksi oleh perusahaan asing. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan pihak asing akan menguasai sumber minyak yang ada di Indonesia," kata Ketua Umum PMII Bandung Taufik Nurohim saat ditemui di sela aksi”.

Argumen liberasisasi ekonomi harus diakui masih aktual sebagai fomula jawaban. Meski demikian, bukan tanpa diskusi. Pada argumen tersebut kita masih bisa bertanya, apakah proses ekplorasi yang dilakukan Pertamina telah efektif? Apakah nasionalisasi kilang minyak akan selalu berujung pada kesehteraan rakyat atau jangan-jangan hanya akan memperkaya segelintir elit Pertamina saja? Lebih jauh apakah benar sumber masalah dari naiknya harga BBM terletak pada semata-mata soal liberalisasi ekonomi atau malah inefisiensi manajemen dan korupsi? 

Terlepas itu, bagi saya soalnya bukan sebatas setuju atau tidak pada naiknya BBM, tapi atas alasan apa kita menolak atau menyetujuinya. Apakah kita telah mempertimbangkan berbagai pilihan yang ada? Rasionalitas dibalik pilihan itu menjadi penting, agar sikap politik tidak semata-mata didorong niat baik. Bahwa menolak kenaikan harga BBM sama dengan “pro rakyat” dan kontra atasnya adalah “pro rezim” merupakan ciri dari modus berpolitik yang “porno”. Seolah realitas hanya dapat diidentifikasi dari dua pekikan saja, oh yes atau oh no

Absennya nalar kritis dan suburnya modus politik “niat baik” inilah yang bertanggung jawab atas disorientasi gerakan mahasiswa belakangan ini. Mahasiswa kerap kali gagal melihat kompleksitas persoalan yang lebih luas. Contoh dari hal ini bisa kita lihat dari dua kasus. Pertama, bersitegangnya mahasiswa UI dengan penumpang KRL Bogor-Jakarta dalam aksi protes menolak penggusaran pedagang kaki lima di sekitar stasiun UI Depok beberapa waktu lalu. Mahasiswa yang berkeras menolak penggusuran memblokade rel kereta, seolah tanpa pertimbangan mengenai ribuan orang yang menjadikan kereta sebagai sarana mencari nafkah. Rasa iba pada pedagang kaki lima, tidak dipertemukan dengan persoalan lain mengenai besarnya kerugian publik atas terhentinya aktivitas ekonomi sehari-hari. Jika saja ini dipertimbangkan, modus gerakan yang lain tentu bisa masuk opsi, dengan harapan aspirasi dari berbagai elemen tetap bisa dipenuhi.

Kasus kedua terjadi baru-baru ini, demonstrasi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM, memblokir jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Pada aksinya, mahasiswa memukuli beberapa pengendara motor dan mobil yang melintas. Aksi ini menuai protes dari publik, antara lain IPW(Indonesia Police Watch). Alasannya jelas, jalan adalah hak publik. Terlebih jalan Diponegoro merupakan salah satu akses ke RS Cipto Mangunkusuomo, tidak mempertimbangkan fakta ini jelas fatal. Niat ingin membela publik luas, justru berpotensi mensabotase akses publik atas jalan dan pelayanan kesehatan.

Mahasiswa tidak bisa semana-mena berdalih mereka yang tetap bekerja dan tidak turun ke jalan sebagai “tidak peduli”, “oportunis”, atau “borjuis”. Apalagi sampai menghakimi dengan memukul. Pasalnya tidak semua orang punya kemewahaan berupa waktu luang untuk berdemo dan mengekspresikan aspirasi politiknya. Apalagi tidak harus juga setiap orang setuju dengan protes yang diusung mahasiswa. Demonstrasi adalah instrumen demokrasi, dimana setiap warga negara berhak menyalurkan aspirasi politiknya diruang publik, tentu dengan tanpa membatalkan hak warga lain atas ruang publik.

Kenyataan ini, sekali lagi kian menguatkan bahwa modus politik populis bukan hanya reduktif namun juga berbahaya. Sebab kontra produktif pada cita-cita gerakan yang hendak dituju. Jangan sampai populisme membuat kita abai untuk sabar memilah dan memilih sikap maupun metode gerakan, guna mencapai kebaikan yang lebih besar.

No comments:

Post a Comment