Thursday, August 29, 2013

Agama, Ruang Publik, dan Pancasila



Buku Tuhan Tidak Partisan: Melampaui Sekulerisme dan Fundamentalisme karya Yudi Latif bisa jadi “oase” bagi kita yang belakangan tak bosannya terjerembab dalam konflik dan kekerasan atas nama agama. Keengganan Yudi untuk berkata cukup pada apa yang terlihat di permukaan, membawanya lebih jauh menyelami persoalan agama dan negara ke latar historis. Bukan baru sekarang agama dan negara jadi persoalan di tanah air,  ini adalah pekerjaan rumah yang tak kunjung rampung semenjak negeri ini berdiri.

Fenomena seperti perda syariah, kekerasan antarpemeluk agama, ataupun sekularisasi atas berbagai bidang kehidupan dewasa ini, bagi Yudi adalah tanda dari mengemukanya kembali persoalan historis, yang sesungguhnya pernah kita selesaikan secara dewasa. Sejarah pernah mengabarkan pada kita episodeperdebatan tujuh kata pada perumusan sila pertama Pancasila, yakni mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya. Dari sana tergambar, bahwa inti persoalannya terletak pada bagaimana kita mendudukkan agama dalam hubunganya dengan negara.

Pada era demokrasi seperti saat ini, pertanyaan hubungan antara agama dan negara menjadi kian kompleks. Apakah ekspresi agama relevan dalam ruang publik? Jika iya, bagaimana agama atau pemeluk agama  bisa mengekspresikan identitasnya dalam ruang publik, sambil pada saat bersamaan menjaga kebhinekaan? Persis: soal inilah yang digeluti Yudi dalam bukunya kali ini.


Yudi mengawali bukunya dengan menganalisis dua kutub pendapat yang selama ini bertegang dalam melihat negara dan agama. Pertama, pandangan tata negara modern yang berupaya memisahkan secara tegas antara agama dan negara. Menurut kutub ini, ranah publik adalah milik negara, dan ranah privat dimiliki oleh agama. Sekularisasi ruang publik, dalam pandangan ini, adalah keniscayaan. Negara, sebagai produk modern yang diinspirasi oleh semangat pencerahan di Eropa, yang semenjak awal mengusung rasionalitas, sains, dan industri, dinilai tidak sejalan dengan agama. Konsekuensi logis dari tumbuhnya negara modern adalah mundurnya agama dari ranah sosial. Sekularisasi institusi sosial dengannya menjadi prasyarat dari keberlangsungan demokrasi. 

Mitos itulah yang justru hendak ditolak Yudi Latif. Baginya, sekularisasi bidang kehidupan publik, sebagaimana prasyarat teori negara modern, adalah fiksi. Agama dan negara tidak mesti berpisah. Merujuk pada data Stepan, di negara-negara modern dan demokratis seperti Eropa sekalipun, agama bergandengan dengan negara. “Pada 1990, lima dari lima belas negara Uni Eropa bahkan memiliki ‘gereja negara’(established church), tulis Yudi (halaman 86).

Fakta tersebut jelas membatalkan tesis kelompok modern sekuler. Apalagi, versi positivistik teori negara modern menyiratkan bias pengalaman Eropa yang pernah mengalami trauma pemisahan agama dan negara. Sejarah modern Eropa memang tidak bisa dilepaskan dari upaya keluar dari penindasan monarki yang berkolaborasi dengan gereja. Sementara Indonesia punya lain cerita. Islam  merupakan bahasa perlawanan pertama terhadap kolonialisme. Itulah mengapa dalam upaya menekan perlawanan kelompok-kelompok Islam, pemerintah kolonial Belanda mengupayakan sterilisasi ruang publik dari unsur-unsur keagamaan. Prakteknya adalah dengan mengatur pernikahan dalam hukum positif, sesuatu yang sebelumnya merupakan ranah publik. Dengan sendirinya, Yudi ingin mengatakan bahwa mereka yang sekarang mengusung ide ruang publik yang steril agama, melanjutkan hegemoni kolonial atas praktek keberagamaan publik.

Oposisi dari pandangan ini adalah fundamentalisme Islam. Kosongnya ruang publik dari peran dan ekspresi keberagamaan dinilai sebagi penyebab dari dekadensi moral, korupsi, konsumerisme, dan banyak lainnya. Bagi mereka yang memeluk teguh pandangan ini, ruang publik harus disucikandalam hal ini diislamisasi. Puncaknya, untuk menyelamatkan umat dari kehancuran moral, sosial, dan ekonomi, negara harus mengemban tugas menjalankan syariat Islam. Visi ideal dari pandangan ini adalah mengislamisasi seluruh pranata sosial (penyatuan negara dan agama). Bagi Yudi, pandangan kedua ini sama “koruptifnya” dengan yang pertama, karena memaksakan tafsir tunggal atas realitas yang plural. Alih-alih berdiri di salah satunya, ia justru mengetengahkan konsep yang disebutnya “pembedaan (diferensiasi)”.

Konsep ini ingin mengatakan bahwa negara dan agama tidak perlu saling menegasikan atau melebur total. Apa yang perlu dilakukan adalah dengan membuat “pembedaan”. Agama dan negara bisa mengembangkan peran publiknya masing-masing tanpa saling mengkooptasi, selama satu sama lain menjalankannya dalam konteks yang tepat. Ruang publik dalam pengertian ini meliputi keseluruhan tatanan kehidupan, tidak terbatas ranah pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif). Agama tidak perlu berdesakkan dengan negara dalam upaya mengatur ruang publik dalam ranah politik pemerintahan. Justru dengan berada di luarnya, agama berpotensi menjadi penjaga nilai dan tujuan bersama: “Dengan ‘pembedaan (diferensiasi)’, agama bisa mengembangkan otonomi relatif dalam menyediakan landasan moral,  baik untuk menopang maupun menentang kekuasaan politik (halaman 96).

Mengikuti Cassanova, Yudi berargumen bahwa konsep “pembedaan” bisa berjalan, selama peran agama dalam ruang publik telah “menyublim”. Ide-ide keagamaan boleh saja menginspirasi ruang publik selama didasarkan pada “public reason (rasionalitas bersama)” dan diabstraksikan dalam bentuk yang universal, sehingga bisa diterima semua pihak.  Pada argumen inilah Yudi membawa kita kembali menengok pancasila.  Yudi percaya, bahwa pondasi dari hubungan agama dan negara telah ada dalam Pancasila, terutama sila pertama. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila adalah kandungan dari nilai moral agama-agama, namun bukanlah agama. Pancasila adalah sikap hidup yang senantiasa mempercayai bahwa nilai etis dan moral (yang bersumber pada agama) penting untuk mengelola hidup bersama. Untuk itu Yudi menulis, “Pada titik ini, kita menemukan frase ‘Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan negara agama’ sebagai formula yang maju yang bisa menjawab tantangan zaman (halaman 99)

Pada akhirnya, arti pentingnya buku ini ada pada upayanya menyegarkan kembali tafsir atas sebuah kekayaan kultural yang diwarisi, dan jadi bekal kita mengelola keadaban ke depan: pancasila. Penyegaran ini kian diperlukan mengingat yang dikatakan mantan presiden Habibie pada pidato hari kesaktian pancasila dua tahun lalu, “Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik(Republika.co.id - 06 November 2011 | 18:54).

No comments:

Post a Comment