Buku Tuhan Tidak Partisan:
Melampaui Sekulerisme dan Fundamentalisme karya Yudi Latif bisa jadi “oase”
bagi kita yang belakangan tak bosannya terjerembab dalam konflik dan kekerasan
atas nama agama. Keengganan Yudi untuk berkata cukup pada apa yang terlihat di permukaan, membawanya lebih jauh menyelami persoalan agama dan
negara ke latar historis. Bukan baru sekarang agama dan negara jadi persoalan
di tanah air, ini adalah pekerjaan rumah
yang tak kunjung rampung semenjak negeri ini berdiri.
Fenomena seperti perda syariah, kekerasan antarpemeluk agama, ataupun
sekularisasi atas berbagai bidang
kehidupan dewasa ini, bagi
Yudi adalah tanda dari mengemukanya kembali
persoalan historis,
yang sesungguhnya pernah kita selesaikan secara dewasa. Sejarah pernah
mengabarkan pada kita episode
“perdebatan tujuh
kata” pada perumusan sila pertama Pancasila, yakni mengenai kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya. Dari sana tergambar, bahwa inti
persoalannya terletak
pada bagaimana kita mendudukkan
agama dalam hubunganya dengan negara.
Pada era demokrasi seperti saat ini, pertanyaan
hubungan antara agama dan negara menjadi kian kompleks. Apakah ekspresi agama
relevan dalam ruang publik? Jika iya, bagaimana agama atau pemeluk agama bisa
mengekspresikan identitasnya dalam ruang publik, sambil pada saat bersamaan menjaga kebhinekaan? Persis: soal inilah yang digeluti Yudi dalam
bukunya kali ini.
Yudi mengawali bukunya dengan
menganalisis dua kutub
pendapat yang selama ini bertegang dalam melihat negara dan agama. Pertama,
pandangan tata negara modern yang berupaya memisahkan secara tegas antara agama
dan negara. Menurut kutub ini,
ranah publik adalah milik
negara, dan ranah privat dimiliki oleh agama. Sekularisasi ruang publik, dalam pandangan ini, adalah keniscayaan. Negara, sebagai produk modern yang diinspirasi oleh semangat pencerahan
di Eropa, yang semenjak
awal mengusung rasionalitas, sains, dan industri, dinilai tidak sejalan dengan agama. Konsekuensi
logis dari tumbuhnya negara modern adalah mundurnya agama dari ranah sosial.
Sekularisasi institusi sosial dengannya menjadi prasyarat dari keberlangsungan demokrasi.
Mitos itulah yang justru hendak ditolak Yudi
Latif. Baginya, sekularisasi bidang kehidupan publik, sebagaimana prasyarat teori negara
modern, adalah fiksi.
Agama dan negara tidak mesti berpisah. Merujuk pada data Stepan, di negara-negara modern dan demokratis
seperti Eropa sekalipun, agama bergandengan dengan negara. “Pada 1990, lima dari lima belas negara
Uni Eropa bahkan
memiliki ‘gereja negara’(established church),” tulis Yudi (halaman 86).
Fakta tersebut jelas membatalkan
tesis kelompok modern sekuler. Apalagi,
versi positivistik teori negara modern menyiratkan bias pengalaman Eropa yang
pernah mengalami trauma pemisahan agama dan negara. Sejarah modern Eropa memang
tidak bisa dilepaskan dari upaya keluar dari penindasan monarki yang
berkolaborasi dengan gereja. Sementara Indonesia punya lain cerita. Islam merupakan bahasa perlawanan pertama terhadap
kolonialisme. Itulah mengapa dalam upaya menekan perlawanan kelompok-kelompok
Islam, pemerintah kolonial Belanda mengupayakan sterilisasi ruang publik dari
unsur-unsur keagamaan. Prakteknya adalah dengan mengatur pernikahan dalam hukum
positif, sesuatu yang sebelumnya merupakan ranah publik. Dengan sendirinya,
Yudi ingin mengatakan bahwa mereka
yang sekarang mengusung ide ruang publik yang steril agama, melanjutkan
hegemoni kolonial atas praktek keberagamaan publik.
Oposisi dari pandangan ini adalah
fundamentalisme Islam. Kosongnya ruang publik dari peran dan ekspresi
keberagamaan dinilai sebagi penyebab dari dekadensi moral, korupsi,
konsumerisme, dan
banyak lainnya. Bagi mereka yang memeluk teguh pandangan ini, ruang publik
harus disucikan—dalam
hal ini diislamisasi.
Puncaknya, untuk menyelamatkan
umat dari kehancuran moral, sosial, dan ekonomi, negara harus mengemban tugas menjalankan
syariat Islam. Visi ideal dari pandangan ini adalah mengislamisasi seluruh
pranata sosial (penyatuan negara dan agama). Bagi Yudi, pandangan kedua ini
sama “koruptifnya” dengan yang pertama, karena memaksakan tafsir tunggal atas realitas yang plural. Alih-alih
berdiri di salah satunya, ia
justru mengetengahkan konsep yang disebutnya “pembedaan (diferensiasi)”.
Konsep ini ingin mengatakan bahwa negara
dan agama tidak perlu saling menegasikan atau melebur total. Apa yang perlu
dilakukan adalah dengan membuat
“pembedaan”. Agama dan negara bisa mengembangkan peran publiknya masing-masing
tanpa saling mengkooptasi, selama satu sama lain menjalankannya dalam konteks
yang tepat. Ruang publik dalam pengertian ini meliputi keseluruhan tatanan
kehidupan, tidak terbatas ranah pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan
legislatif). Agama tidak perlu
berdesakkan dengan
negara dalam upaya mengatur ruang publik dalam ranah politik pemerintahan. Justru
dengan berada di luarnya, agama
berpotensi menjadi penjaga nilai dan tujuan bersama: “Dengan ‘pembedaan (diferensiasi)’, agama bisa
mengembangkan otonomi relatif dalam menyediakan landasan moral, baik untuk menopang maupun menentang
kekuasaan politik (halaman 96)”.
Mengikuti Cassanova, Yudi
berargumen bahwa konsep
“pembedaan” bisa berjalan, selama peran agama dalam ruang publik telah
“menyublim”. Ide-ide keagamaan boleh saja menginspirasi ruang publik selama
didasarkan pada “public reason (rasionalitas
bersama)” dan diabstraksikan dalam bentuk yang universal, sehingga bisa diterima semua
pihak. Pada argumen inilah Yudi membawa
kita kembali menengok pancasila. Yudi
percaya, bahwa pondasi
dari hubungan agama dan negara
telah ada dalam Pancasila,
terutama sila pertama. Ketuhanan
dalam kerangka Pancasila adalah kandungan dari nilai moral “agama-agama”, namun bukanlah “agama”. Pancasila adalah sikap hidup yang senantiasa mempercayai bahwa nilai etis dan moral (yang bersumber pada agama) penting untuk mengelola
hidup bersama. Untuk itu Yudi
menulis, “Pada titik ini, kita menemukan frase ‘Indonesia bukanlah
negara sekuler dan bukan negara agama’ sebagai formula yang maju yang bisa
menjawab tantangan zaman (halaman 99)”.
Pada akhirnya, arti pentingnya buku ini ada pada
upayanya menyegarkan kembali
tafsir atas sebuah kekayaan kultural yang diwarisi,
dan jadi bekal kita mengelola keadaban ke depan: pancasila. Penyegaran ini kian diperlukan mengingat yang
dikatakan mantan presiden Habibie pada pidato hari kesaktian pancasila dua
tahun lalu, “Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di
tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan
demokrasi dan kebebasan berpolitik”(Republika.co.id - 06 November 2011 | 18:54).
No comments:
Post a Comment