Thursday, August 21, 2014

Desakralisasi Otoritas Media

Satu hal yang patut disyukuri pasca-kampanye Pemilu presiden lalu adalah literasi media. Pertarungan dua poros politik yang melibatkan peran media secara tidak langsung mengajak publik memahami bahwa media bukanlah produsen informasi yang bebas nilai.

Kita tentu ingat bagaimana berita TV One yang membingkai PDIP sebagai partai komunis dan kader-kadernya sebagai keturunan PKI. Meski tak sekasar TV One, pemberitaan Metro TV juga bukan tanpa masalah. Mulai dari persoalan pelanggaran Hak Azasi Manusia hingga kasus penyalahgunaan lambang negara (logo kampanye koalisi merah putih) jadi informasi yang terus dilekatkan pada calon presiden nomor urut satu, Prabowo Subianto.
 
Akibat keberpihakan yang telanjang tersebut, publik menyadari bahwa informasi televisi bias. Kesadaran ini mencuat antara lain lewat berbagai perdebatan publik di media sosial. Masing-masing pendukung kubu capres/cawapres saling kritik mengenai sumber informasi yang diusung lawan politik. Sayangnya, publik baru menyadari agenda setting dan sikap politik redaksi. Kebanyakan dari publik tidak mampu membedakan sikap dengan hasil kerja redaksi. Publik kerap melihat media semata sebagai produk kerja politik, sehingga gagal melihat hasil kerja jurnalistik dengan jernih. 

Terdapat perbedaan yang mendasar antara pembingkaian berita dan informasi sesat. Sebuah berita bisa saja berpihak, namun tetap dikerjakan berdasar kaidah jurnalistik, sehingga tetap merupakan sebuah fakta. Bingkai dalam pemberitaan adalah pemilahan dan penonjolan fakta tertentu. Misal, berita berjudul “Prabowo-Hatta menang di Penjara Khusus Koruptor” (Tempo.co, 9 Juli 2014) atau “Di Lokalisasi Gang Doly Jokowi-JK Menang” (Viva.co.id, 5 Agustus 2014) jelas merupakan strategi pembingkaian media. Meski demikian, keduanya dikerjakan dengan kaidah jurnalistik: memiliki sumber yang jelas dan data yang akurat. 

Hal berbeda bisa ditemui pada Seputar Indonesia 11 Juni 2014 mengenai dugaan kebocoran soal debat capres dan cawapres yang dituduhkan pada kubu Jokowi-Jusuf Kalla. Berita tersebut jelas catat jurnalistik karena didasarkan pada sumber yang sumir dan tidak berdasar prinsip cover both sides. Cacat jurnalistik yang sama kita temui pada berita-berita VOA Islam atau Obor Rakyat yang membilang Jokowi etnis keturunan Tionghoa atau beragama non-Islam. Berita-berita tersebut bukan karya jurnalistik karena tidak berdasarkan fakta akurat, sumber yang jelas, dan prinsip cover both sides.

Pada kenyataannya, publik sering kali mengabaikan kualitas informasi media dan mengedepankan preferensi politik atau ideologi. Kebenaran informasi tidak diukur dari validitasnya, melainkan ditentukan oleh kesesuaian dengan pilihan politik. Dari sini kita melihat, apa yang luput dari kritik publik atas media adalah diterimanya asumsi media sebagai sumber informasi yang “benar”. Kritik atas keberpihakan media tidak dilanjutkan menjadi kritik atas kredibilitas informasi media. Dalam kata lain, maraknya kritik publik lebih merupakan kritik preferensi politik media, dan bukan kritik atas otoritas media dalam menyampaikan informasi. 

Apa yang kita perlukan dalam waktu-waktu ke depan adalah desakraliasi otoritas media, sehingga publik memahami bahwa informasi yang dihasilkan media bukan wahyu yang tak bisa dipertanyakan. Idealnya, diskusi atau perdebatan publik dilakukan di atas pertanyaan mengenai validitas informasi media. Hanya dengan begitu dialog bisa dicapai, karena tanpanya yang terjadi adalah seolah diskusi padahal masing-masing bercakap sendiri.

Dimuat di Koran Tempo, 21 Agustus 2014.

1 comment:

  1. Kami tidak butuh KPI,,,
    Kami tidak percaya akan kinerja KPi #bubarkankpi

    ReplyDelete