Tuesday, October 1, 2013

Poskolonialisme: Gerakan dan Teori (Sebuah Prolog)

Perbincangan seputar nasionalisme selalu aktul dalam kajian poskolonial. Semenjak studi poskolonialisme diperkenalkan sebagai upaya menjawab kegelisahan intelektual dunia ketiga untuk memeriksa budaya nasional dan memisahkannya dengan apa yang menjadi warisan kolonialisme, menurut Ania Loomba, isu nasionalisme juga hinggap dalam teks-teks yang mempersoalkan budaya poskolonial. Teks-teks tersebut antara lain seperti yang dihidupkan dalam karya-karya Edward Said, Homy Bhaba, Gayatri Spivak, dan banyak pemikir Asia dan Afrika lainnya. 

Corak pendekatan poskolonial dalam upayanya memeriksa nasionalisme dalam bahasa Hasan Hanafi, selalu dalam tendensi untuk mengembalikan Barat kebatas-batas alamiahnya. Karena apa yang dimaksud dengan “Barat” sebagai kebudayaan, kini tidak hanya ada dalam batas geografi yang selama ini kita pahami sebagai Eropa. Kolonialisasi selama berabad-abad telah membawanya memenuhi ruang georafis dan terutama psikis dan kultural, di Negara-negara dunia ketiga yang mengalami kolonialisasi. Tulis Nandy:

"Kolonilisme menjajah pikiran sebagai pelengkap penjajahan tubuh dan ia melepas kuasa-kekuasaan dalam masyarakat terjajah untuk mengubah pelbagai prioritas kultural mereka untuk sekali dan selamanya. Dalam proses tersebut, ia membantu menggeneralisasi konsep tentang barat modern dari sebuah entitas geografis dan temporal ke sebuah kategori psikologis. Barat saat ini ada dimana-mana, di Barat dan di luar Barat, dalam pelbagai struktur dan dalam seluruh pikiran" (Nandy,1998: xi).
Dentum perlawan pertama atas gejala ini menurut Gyan Prakash dimulai oleh Franz Fanon dan Mahatma Gandhi. Keduanya adalah orang yang paling berjasa dalam membuka jalan pada berkembangnya suatu pola pikir yang memproblematisasi residu kolonialisme dan membuat upaya pemulihan poskolonial. Meski dihidupi dengan bahasa dan budaya yang berbeda(Afrika dan India), keduanya menyiratkan tujuan yang sama. Leila Ghandi mengabstraksikan tujuan keduanya dalam satu ungkapan, yaitu “pemulihan budak” dari gemerlap superfisial peradaban Barat modern. 

Gandhi dengan politik swadeshinya mengajak rakyat India untuk mulai menawar kembali relasinya dengan bangsa kulit putih (Inggris), dan mengajarkan bahwa rantai penjahan tidak hanya bersifat politis tapi juga kultural. Ide yang sama namun dengan modus gerakan yang berbeda dilakukan Fanon di Algeria. Bila Ghandi dengan swadeshinya menolak kekerasan, maka Fanon Percaya upaya kekerasan perlu dilakukan demi kebebasan, sambil disaat bersamaan menyerukan “Marilah kita berusaha menciptakan manusia seutuhnya, manusia yang sudah tidak mampu diciptakan oleh Eropa” (Fanon, dalam Gandhi, 2001: 28). 

Prakash Percaya, poskolonialisme sebelum teori adalah gerakan dan peristiwa yang diupayakan oleh Fanon dan Gandhi, karenanya kedua tokoh ini dinilai penting dalam kelahiran gagasan poskolonial dikemudian hari. Benih Poskolonialisme yang telah ditebar Gandhi dan Fanon, sejauh dapat ditelusuri, pertama-tama dituai oleh pemikir Arab asal Palestina. Adalah edward Said, yang pertama-tama melontarkan keberatan secara sistemastis atas hegemoni kultural Barat yang mengsubordinasi bangsa Arab Islam.

Bukunya yang berjudul “Orientalisme” diakui kalangan intelektual poskolonial kemudian sebagai tonggak berdirinya ranah kajian dan perspektif poskolonial. Melalui “Orientalisme” Said berhasil menunjukkan bahwa proyek pengetahuan dan kebudayaan Barat yang berlangsung di dunia terjajah, bukan sesuatu yang bebas nilai. Meminjam konsep Michel Foucault mengenai Kuasa/Pengetahuan, Said menggambaran bahwa gagasan mengenai “ketimuran” dan “Islam” yang dihasilkan oleh ilmuan Barat, tidak lain adalah bentuk-bentuk prasangka yang didasarkan “nafsu” penguasaan. 
“Bukan tanpa sebab bahwa Islam telah melambangkan teror, pemusnahan, dan gerombolan orang-orang barbar yang kesetanan dan patut dibenci. Bagi orang Eropa Islam adalah Trauma abadi. Sampai Akhir abad ke tujuh belas “ancaman Turki (otoman)” terus mengintai Eropa dan merupakan bahaya lestari bagi seluruh peradaban Kristen, dan dalam perjalanan waktu, peradaban Eropa menyerap bahaya tersebut dan tradisinya, peristiwa-peristiwa besarnya, tokoh-tokohnya, kebaikan dan keburuannya sebagai sesuatu yang dijalankan ke dalam jaringan kehidupan”(Said, 2001: 77)
Fokus studi Said memang suatu lingkup disiplin Barat yang mempelajari Timur, yaitu orientalisme. Orientalismelah yang menurut Said jadi legitimasi bagi kolonialisasi Barat di dunia Timur. Dalam upayanya menolak “Timur” yang dihasilkan sarjana Barat, Said sekaligus sedang membayangkan Timur yang berbeda dengan Barat. Timur yang asali pada dirinya sendiri, dengan kata lain Arab Islam yang murni. Pandangan inilah yang kemudian hari menjadi titik tolak kritik intelektual poskolonial setelahnya. Hutang budi terhadap Said, yang telah membukakan jalan pada suatu ranah studi yang menggairahan dan penting bagi perkembangan studi budaya di dunia ketiga, tidak menghentikan mereka menyarakan kritik. Kritik itu adalah keberatan atas upaya Said meneguhan identitas Timur yang esensial. 

Gayatri Spivak, menganggap Said telah jatuh pada apa yang justru ingin ditolaknya dari tradisi Barat, yaitu esensialisme budaya. Alih-alih melihat Timur sebagai yang dinamis dan plural, Said justru “mengawetkannya’ dalam bingkai yang universal. Analisis Said dinilai berpotensi menunggalkan definisi ketimuran dan membunuh kemungkinannya menemukan ketimuran yang sama sekali baru. 

Di Mata Spivak, keterjebakan Said diawali oleh kegagalannya menunjukkan efek-efek kolonialisasi dari negara-negara kolonial yang berbeda. Barat dalam bayangan Said adalah Barat yang utuh dan total, ia tidak melihat atau setidak- tidaknya tidak berhasil menunjukkan perbedaan dampak dari kolonialisasi Inggris, Perancis, dan Italy, yang dalam “Orientalisme” menjadi fokus studinya. Said terjebak dalam logika oposisi biner. Ia alfa menunjukkan keunikan dan kekhasan dari proses kolonialisasi, modus resistensi yang dilakukan masing-masing rakyat terjajah, dan pada akhirnya jenis masyarakat yang dihasilkannya. Tanpanya, Said dinilai hanya membalik hegemomi tanpa mampu memutus mata rantai penindasan.

No comments:

Post a Comment