Tuesday, July 19, 2011

Secangkir Kopi Hangat Pagi – M. Fadjroel Rachman

 


Dingin mencengkram erat-erat tangkai cangkir kopi hangat pagi, bibir biru menggigil
“aku ingin berenang dalam hangat kopi hitam kental ini, sebelum sirna di musim semi”.
Pohon tua di depan hotel dililit selimut hitam abad-abad lelah, menakik luka sunyi dosa
gigi dingin keras gemelutuk, mengguncang meja makan putih berlemak teramat rapi ini

Salmon panggang, irisan kalkun, acar buah, madu likat, berteriak dalam tumpukan lapar
“inikah perjamuan terakhir menjelang ajal menjemput di kerisauan golgota?” isak yudas
tak perlu menyesal ditimbun dosa. “Jiwaku meminta pulang ke langit sepi”, bisik kristus
tadi pagi hitler menyelinap ke cangkir kopi,  menukar gula dengan darah sepasang gipsi


“aku inging pulang” teriak sosis besar daging yahudi. Menendang liar di perut jerman tua
Reichstag terbakar. “yahudi kita cincang untuk makan pagi gaya eropa,” lenguh eva braun
Yudas meraup 30 keping emas, lalu pemanas berasap memanggang daging ibu dan adikku
Kopi pagi ini sungguh nikmat, dingin bergegas ingin merampasnya dari tangan ibrahimku

Khotbah apa lagi harus kusampaikan pada mayat hidup yang berkeliaran di paru-paru kota
Kebisuan huruf, kata-kata penyamun kegelisahan menjerat leher heideger ke rumah iblis
“bukankah ia nabi pujaan sahabt-sahabatmu?” gertak e-mail yang tersesat di kamar hotel
Letih dan sepi tenggelam di bantal bulu angsa tua, lelap di sergap 2 rangkap selimut hangat

Dingin menggigil telanjang di depan pintu hotel, ngilunya mengguncang pintu sekeras jati
1000 angsa putih menghitung bangkai membiru yang mengapung liar di encer sup jamur
Tak ada teh pagi ini, tuan. TV muntah jutaan serapah, menendang nasib ke selokan sejarah
Anne, aku berteriak memanggilmu, tapi jejak sirna, tewas telanjang dilikat hitam kopi pagi

Dongen untuk Popi, 2007, hal : 6

No comments:

Post a Comment