Thursday, July 14, 2011

Sendal Jepit Yang Tertinggal

Malam jalanan Jakarta seperti biasanya, padat. Ditengah hiruk pikuk kendaraan bermotor, seorang penjual siomay keliling mencari sela-sela jalan yang mungkin dilaluinya. Dipacu bunyi klakson dan deru kendaraan bermotor, ia berusaha mendorong gerobaknya semakin deras. Sendal jepit pun terlepas dari kakinya yang berkeringat, ia berhenti dan menengok kebelakang. Sesaat ia lepas pegangannya pada gerobak, dan berjalan kebelakang mengambil sandal jepit yang ternyata telah putus itu. tindakannya  membuat arus kendaraan sedikit terhambat.  umpatan dan makian pun harus ia terima dari pengendara mobil dan motor.

Dalam gelap malam, aku terus melaju di jalan yang sama di lalui penjual siomay itu. jalan yang katanya dibangun diatas narasi kepentingan publik. Namun jalan yang sama juga menjadi saksi matinya empati, tidak terkecuali di dalam diriku. Ku bungkan lidah nurani yang coba bertanya. “Biar saja” ungkap ku, “itu bukan salah kita, pemerintah negeri ini yang bangsat”. Namun benarkah demikian? Hati ku masih saja bergelut dengan sisa nurani yang tak mau kalah. Sampai ku teringat sajak Rendra, yang mengintai sisa malam-malam ku di jalan.  


tentu, kita bertanya :
"lantas maksud baik saudara untuk siapa ?"
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu - ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?

sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak - cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan - pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra

Dikutip dari: “Sajak Pertemuan Mahasiswa” Karya W.S. Rendra

Setelah Rendra, pilihannya kini akan berakhir dimana pertanyaan ku, menjadi semak belukar di hutan ataukah menjadi deru ombak yang menggoncang karang. Aku tidak sedang mengatakan dengan bertanya kita akan mengubah dunia, namun kuputuskan membiarkan pertanyaan itu berkembang menjadi sesuatu yang kutulis saat ini. Kepalaku pun penuh dengan serangkaiannya tanya yang meminta penjelasan.

Untuk siapa jalan dibuat?mengapa tukang siomay, kerupuk, cincau dan banyak lainnya, mesti mencari sela dan merasa terhina kala melaju di jalan yang katanya juga dibuat untuk mereka? mengapa meraka tidak diperhitungkan dalam rencana pembangunan jalan? Atau kita memang harus membuka kembali diskusi yang tak kunjung usai mengenai apa dan siapa yang dimaksud publik dan rakyat? Oh tidak, betapa memuakkannya semua itu.

“Sudahlah” bisik ku dalam hati. Malam yang kian pekat, jadikan alasan ku memacu motor hingga kecepatan 80 km/jam. Aku melalui aspal yang penuh tanyai itu dengan kerinduan pada rumah. Tempat di mana satu-satunya kegelisahan mampu hilang di gilas mentari pagi yang hangat, kala kita terbangun esok hari.

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan - pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra

Dikutip dari: “Sajak Pertemuan Mahasiswa” Karya W.S. Rendra

No comments:

Post a Comment