Friday, July 8, 2011

Dengarlah Nyanyian Ku


Membaca novel Haruki Murakami seolah sedang membaca pergulatan antara moderitas dan tradisionalisme yang terjadi di Jepang tahun 1970-an. Kemajuan teknologi dan peningkatan kemampuan ekonomi melahirkan kelas menengah, yang sebagian besar diantaranya adalah remaja. Konsekuensi dari modernitas yang kian meluas, memaksa anak-anak muda Jepang untuk menalar kembali pandangan-pandangan tradisional mengenai seni, budaya, dan sastra yang telah mapan. Gambaran dari kondisi ini ditampilkan dengan cerdas oleh haruki Muram dalam “Dengarlah nyanyian angin”. 

Bila mendambakan seni atau sastra, sebaiknya kau baca saja karya-karya orang yunani. Sebab sistem perbudakan sangat diperlukan untuk menciptakan seni murni. Begitulah yang terjadi di zaman yunani kuno, budak-budak membajak ladang, mengolah makanan, mendayung perahu, sementara saat itu penduduk kota tenggelam dalam pembuatan sajak di bawah sinar mentari Laut Tengah dan mengutak-atik matematika. Itulah yang disebut sebagai
seni(Murami, 2008: 7). 

Dilucutinya pandangan yang mapan mengenai seni dan budaya, membawa anak muda Jepang, mencari role model baru yang lebih bisa mengakomodir jiwa baru post moderisme yang sedang mereka alami. Bagi sang tokoh Aku dalam nyanyian angin, inspirasi itu datang dari seorang novelis bernama Derek Heartfield. Obsesi pada sang novelis membawa tokoh Aku melahirkan novel. Namun bukan dari sudut perenung yang kontemplatif melainkan pada pergulatan hidup keseharian. Dan bila anda bertanya dari mana Aku, yang dalam tafsir saya juga Haruki Murami, memulai novelnya, inilah jawabnya:

Satu jam penuh aku mencari-cari makan Hertfield. Akhirnya kutemukan. Setelah meletakkan bunga mawar liar penuh debu yang kupetik di padang sekitar situ, aku menungkupkan kedua tanganku kearah makam, lalu duduk menghisap rokok. Dibawah sinar matahari yang lembut di bulan mei, hidup dan mati terasa bagaikan sama tenangnya. Aku berbaring mengadah ke atas, mengatupkan mata, dan selama beberapa jam aku terus mendengarkan nyanyian burung gereja. Novel ini dimulai dari tempat seperti itu. Aku tidak tahu akan berakhir dimana (Murami, 2008: 146).  

No comments:

Post a Comment