Sunday, December 25, 2011

Chairil Anwar : Yang Bukan Penyair Tidak Ambil Bagian

“yang bukan penyair, tidak ambil bagian” demikian ungkap Chairil Anwar dalam salah satu wawancaranya dengan radio Belanda. Kalimat Chairil tersebut mengantarkan pada pemahaman mengenai bagaimana seni  di maknai di tanah air. Nada protes terhadap kalimat tersebut tumbuh subur di penghujung tahun 1971, yang di tandai oleh munculnya perkemahan kaum urakan yang dikomandani Rendra dan gerakan puisi emBeling yang di komandani Zeihan dan Remy Silado .

Dalam kalimatnya Chairil dengan tegas membagi antara yang penyair dan bukan penyair. Bagi Chairil, hanya penyairlah yang punya hak membuat syair. Sehingga jelas penyair memiliki posisi yang luhur, karena hanya penyair yang boleh merenung (ambil bagian) dan melahirkan puisi atau sajak. Dengannya puisi ataupun sajak  menjadi sesuatu yang luhur pula, sebab ia buah karya seorang penyair. Pernyataan inilah yang di tolak Zeihan dengan gerakan puisi emBeling. Dalam percakapannya dengan Farid Sony Maulana, Zeihan mengatakan, “Dengan tegas saya katakan, yang bukan penyair boleh ikut ambil bagian. Ini artinya setiap orang boleh menulis puisi, boleh main-main dengan puisi. Gembira ria dengan puisi”(Mata emBeling, 2000: 14).


Pernyataan Zeihan adalah tantangan terhadap kemapanan jamannya. Tantangan itu disampaikan dengan cara yang elegan, langsung dialamatkan pada episentrum kekuasaan ketika itu, yaitu majalah Horison,  yang seolah tidak memberikan peluang terhadap gaya pengucapan puisi, selain puisi lirik.

Di penghujung tahun 1971 puisi embeling pertama kali di publikasikan di majalah aktuil. Pemilihan majalah Aktuil sebagai media publikasinya adalah pesan pertama pemberontakan puisi emBeling. Majalah Aktuil di kenal sebagai majalah remaja populer, berbeda dengan majalah Horison yang dikenal majalah bermuatan serius. Dengan menaruh puisi di majalah Aktuil, sama dengan menurunkan derajat kemuliaan puisi. Namun, memang itulah yang dihendaki gerakan puisi emBeling, seperti yang terungkap dalam mukadimah puisi embeling.

Sadjak ja sadjak
Djedjak ja djedjak
Sadjak tjari djedjak
Djedjak tjari sadjak
Biarkan
Jang di djedjak, djedjak
Jang sadjak, sadjak
(Mata emBeling jeihan, 2000: 11)

Seni adalah apa yang harus diletakkan di telapak kaki, begitulah filosofi gerakan puisi emBeling yang disampaikan juru bicaranya, Remy Silado. Pesan untuk membumikan seni terasa dalam kalimat tersebut. Puisi adalah denyut kehidupan, maka puisi haruslah lahir dari keseharian bukan pertapaan. Puisi bukanlah sesuatu yang yang luhur dan sulit di capai. Akan tetapi sesuatu yang dapat hidup di mana pun dan untuk siapa pun, karenanya puisi emBeling, sebagaimana yang dikatakan Zeihan, tidak berhasrat menyembunyikan makna dalam keindahan bahasa. Tidak perlu intelektualitas untuk mencerap puisi emBeling, puisi emBeling telanjang dengan sendirinya. Makna pesan dalam puisi bagi zeihan adalah seperti puisi di bawah ini:

1 mie baso
1 es jeruk
Cepat!
(Mata emBeling jeihan, 2000: 61)

Lugu, tidak berlumur metafora, dan apa adanya, itulah semangat puisi emBeling, seperti yang dapat dilihat melalui sajak “pesan” karya Zeihan di atas. Puisi emBeling adalah ikhtiar mengembalikan puisi sebagai ruang emasipasi. Tanpa menempatkan estetika dan teknologi bahasa sebagai yang utama, puisi emBeling menembus batas-batas puisi itu sendiri. Begitu pula halnya dengan batas antara seniman dan bukan seniman. Mereka yang membaca puisi emBeling seolah diajak untuk merefleksikan keseharian menjadi sajak.

Kehidupan adalah lautan makna, dimana setiap hari manusia mengarunginya, siapa saja belajar dari hidup sesungguhnya adalah penyair. Persoalan kecanggihan bahasa adalah persoalan modalitas sosial dan simbolik, tidak ada yang esensial kendati itu selera. Menurut Boerdieau, selera tidak terlepas dengan kelas sosial, kemampuan untuk membuat puisi  yang indah dalam perspektif kemapanan, hanya mungkin bagi mereka yang lahir dalam kelas sosial tertentu. Kelas yang memiliki gaya hidup, pendidikan, dan kemampuan ekonomi yang memadai. Puisi Sapardi Djoko Damono misalnya, tidak mungkin dinikmati oleh seorang tukang becak, karena tukang becak tidak memiliki pengalaman hidup dalam kelas sosial dimana Sapardi Djoko Damono dilahirkan.

Kendati demikian, kelas sosial bukanlah harga mati, dimana manusia akan tetap di dalamnya hingga ia mati. Bagi Boerdieau, modal ekonomi ataupun simbolik,  dapat di perebutkan dalam ranah sosial. Siapa punya modal yang kuat, ia akan mampu mendefinisikan kebenaran menurut versinya. Puisi embeling adalah usaha menawarkan alternatif konvensi bahasa yang lain dalam membangun puisi, bahasa yang  lebih memungkinkan kelas sosial yang tidak dominan untuk ikut menikmati puisi.

Hanya saja perlu di pahami, para aktor yang melahirkan puisi emBeling adalah juga mereka yang tergolong dalam kelas sosial yang mapan. Remy Silado dan Zeihan adalah orang-orang yang pernah mengecap pendidikan di perguruan tinggi. Posisi Remy Silado di majalah Aktuil jugalah yang memungkinkan publikasi puisi embeling di majalah ini pertama kali. Usaha resistensi yang dilakukan puisi emBeling, tidak lain adalah bentuk kuasa itu sendiri. Meskipun demikian, kuasa itu produktif.
 
Melalui pemberontakan puisi emBeling, khazanah sejarah sastra Indonesia berkesempatan untuk menambah perspektifnya dalam melihat seni. Puisi emBeling mungkin tidak mampu merubah formasi kekuasaan yang telah lama berakar, tapi setidaknya menawarkan alternatif pemaknaan yang segar atas puisi. Kini pun,entah karena alasan apa, puisi emBeling tidak lagi mewarnai khazanah kesusatraan nasional. Namun barang siapa menjiarahi sejarah sastra tanah air, niscaya tidak akan dapat mengingkari jejaknya.

*Versi Lengkap tulisan ini Berjudul “Seni, Puisi, dan Kekuasaan”, diterbitkan dalam Kumpulan Essay  “Aura Zeihan”, 2010.

1 comment: