Saturday, June 18, 2011

Sebuah Prolog untuk parodi kontemplasi: kenapa Hujan Tidak Membasahi Lautan

Parodi kontemplasi adalah pameran yang digagas seorang kawan dari jatinangor, Muhamad Kumbo Lasmono, atas permintaannya, demi mengiringi gambar-gambar yang digagasnya tulisan berjudul, "kenapa Hujan Tak membasahi Lautan"dibuat.bukan sebagai kuratorial, melainkan lebih sebagai usaha memberi makna pada tanda, yang katanya seni itu. bersama tulisan ini, dilampirkan juga sebagian karya-karya bertema "parodi kontemplasi".Selamat menikmati!


Kenapa Hujan Tak Membasahi Lautan?

Kekanak- kanakan, kata itulah yang terlintas dikepala, ketika pertama kali melihat gambar-gambar bertema parodi kontemplasi, karya seorang kawan bernama Kumbo. Kesan kekanak-kanakan yang kental dalam karya Kumbo mengajak kita untuk kembali menggali penggalan memori masa-masa menjadi anak.

Satu dari sekian banyak penggalan memori pada masa kecil penulis adalah ketika penulis bertanya banyak hal, yang setelah dewasa begitu terasa konyol. Kenapa bumi bulat? Tuhan perempuan atau laki? Dan sebagainya. Satu hal yang menarik dari menjadi anak adalah menjadi pemula. Anak tidak pernah ragu untuk bertanya, ia tidak pernah takut salah, sebab konsep salah dan benar pun belum ada di benaknya. Posisinya sebagai pemula, membuat lingkungan terus menerus memaklumi.




Masa-masa ini, adalah masa dimana segala kemungkinan mampu tampil tanpa perlu terkubur lebih dulu oleh represi rasionalitas. Masa dimana burung Ababil dapat tampil di benak kita dalam wujudnya yang utuh. Ketika teko lebih dari cukup untuk menampung jin yang ukurannya berpuluh-puluh kalipat dari besarnya teko itu sendiri. Masa merayakan imaji, melampaui “penjara kewajaran” yang terus mengurung kita pada apa yang sering kali disebut “realitas”.

Lewat garis yang lugu dalam gambar-gambarnya, Kumbo mengajak kita sekali lagi mengalami moment kanak-kanak. Akan tetapi, masa kanak tidak hanya berisi cerita indah, sebab begitu bahasa mengenalkan disiplin tentang apa yang benar, apa yang salah, apa yang penting dan apa yang tidak, benturan keras tembok “realitas” tak terhindarkan. Maka ajakan Kumbo, juga berarti sekali lagi merasakan pahitnya koreksi, repsesi, dan resistensi. Melihat kembali kemungkinan-kemungkinan yang pernah dibunuh, bahkan sebelum sempat terlontar dalam jagat wacana. Dan keberanian yang hilang ditelan berbagai disiplin agama dan norma.

Melihat keleluasaan dalam gambar Kumbo, kita seolah diingatkan kembali pada sempitnya paradigma penilaian dalam kelas menggambar kita di sekolah. Dimana penilaian didasarkan sebatas pada indah atau tidaknya sebuah gambar, estetika menjadi kunci penilaian. Gambar tidak pernah dilihat sebagai cara anak berkomunikasi, tempat anak mengolah kedirian dan identitasnya.

Entah berapa banyak anak menjadi korban koreksi, dibunuh karakternya dalam proses pendidikan. Mereka yang hari ini duduk di Fakultas Kedokteran, Ekonomi, Matematika, mungkin saja pernah mempunyai hobi menggambar ataupun memiliki cita-cita menjadi pelukis. Akan tetapi, mungkin berkat kalimat semacam ini “kamu tidak bakat menggambar”, membuat sebuah garis pun mereka belum tentu berani.


Memori masa kanak-kanak kini tinggal sepenggal. Dalam keseharian yang telah berdebu oleh rutinitas, hampir-hampir tidak ada lagi ruang bagi refleksi. Menanyakan sesuatu yang telah lazim adalah bahan tertawaan. Akan tetapi, justru itulah yang di hendaki oleh parodi kontemplasi, mengajak kita menertawakan diri sendiri. Melihat diri dalam cermin untuk menanyakan mana yang bayangan. Merasuk jauh ke dalam untuk mengenali siapa kita, bukan dalam rangka menemukan jati diri, justru untuk rendah hati mengakui ketiadaan diri.

Parodi kontemplasi mengajak kita berimajinasi, untuk menantang realitas. Membongkar sekat-sekat represi dalam diri, bekas luka dominasi. Sebagaimana setiap parodi yang selalu meregang antara yang nyata dan hayal, parodi dalam gambar “Jin Teko” menantang kita untuk menjawab sebuah tanya semisal, apa yang akan kita minta jika saja jin teko akan mengabulkan tiga permintaan? jawaban dari pertanyaan ini tidak lagi penting, yang terpenting adalah beranikah kita menjawabnya. Artinya, masih adakah ruang dalam diri kita untuk kemungkinan semacam itu.

Ruang itulah rupanya yang hendak dibuat Kumbo, meski hanya sesaat, lewat gambar-gambarnya. Kendati singkat, bisa saja ini menjadi ruang bagi apa yang disebut oleh Heideger sebagai momen eksistensial. Sebuah momen yang memutus kita dengan keseharian, untuk sejenak berkontemplasi dan memahami “ada”.


Setiap keterputusan dengan keseharian selalu menyakitkan, karena ia juga berarti mengguncang kemapanan. Ia memaksa kita menjadi pemula untuk menemukan keberbagaian. Ketika dalam keseharian jawaban dari 1 + 1 = 2, maka pada saat menjadi pemula jawaban dari 1 + 1 bisa saja 1 dan 1. Tidak pernah ada satu yang identik dengan satu yang lainnya, hingga tanpa abstraksi kita mampu mengatakan satu tambah satu sama dengan dua. Pilihan jawaban bukan hanya nalar objektif, karena kita masih memimiliki tubuh untuk mengukur.

Ketika tubuh menjadi ukuran, maka kita tidak akan menemukan kubus, hanya satu sisi bagian kubus saja yang dapat kita lihat melalui tubuh ini, tak ada manusia mampu melihat keseluruhan sisi kubus secara bersamaan. Semangat yang sama, penulis hendaki dalam melihat seni. Melalui tubuh niscaya kita akan menemukan pilihan di antara bagus dan buruknya atau tinggi dan rendahnya sebuah karya seni.

Mudah - mudahan dengan demikian kita akan melihat “pohon jalan”, “sapi ijon”, “kaki kota”, dan banyak lainnya dengan cara yang berbeda, se unik setiap tubuh dapat memahaminya. Dengannya, di tengah dunia yang semakin berkarat oleh arogansi pengetahuan Descartesian (positivisme), kita masih mungkin menciptakan ruang bagi kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas, satu hal yang tak lagi disediakan ruang kelas.

Pada akhirnya, dengan berparodi dalam kontemplasi izinkan penulis untuk bertanya, mengapa hujan tak membasahi lautan?

No comments:

Post a Comment