Saturday, June 18, 2011

Kuasa, Pengetahuan, dan Subjek

Kuasa adalah konsep Foucault yang paling unik, sekaligus sulit. Foucault tidak pernah memberi definisi yang ketat mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan. Ia hanya menjelaskan bagiamana kuasa bekerja. Baginya kuasa tidaklah represif dan negatif, kuasa lebih merupakan sesuatu yang produktif dan bekerja dengan apa yang disebutnya sebagai regulasi dan normalisasi. Pemikirannya mengenai kuasa, sering kali disebut sebagai kritik paling tajam terhadap Marxisme.

Berbedaa dengan Marx, Foucault melihat kuasa bukanlah sebagai milik melainkan strategi. Kuasa tidak dapat dialokasikan tetapi terdapat dimana-mana, kuasa tidak selalu bekerja melalu penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Terkahir kuasa tidaklah bersifat destruktif melainkan produktif.

Kuasa sebagai sesuatu yang tidak dapat dimiliki berarti ia tidak dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Kuasa bukan milik seorang kepala negara, yang diperolehnya dari rakyat, dan bisa begitu saja ia delegasikan kepada mentri-mentrinya. Sehabis masa jabatannya, habis pula kuasa yang ada padanya. Kuasa dalam pandangan Foucault tidaklah demikian, baginya “kuasa dipraktekan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berakitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran” (Bertens, 2001: 354).

Kuasa oleh karenanya menjadi sangat cair, setiap orang berpotensi memilikinya. Tidak hanya orang-orang dalam jabatan struktural, kuasa juga bekerja bahkan pada level terkecil, pada dialog diantara dua orang sahabat, anak dan orang tuanya, sepasang kekasih sekalipun. Pada satu situasi tertentu misalnya, sekelompok demonstran dapat lebih berkuasa, dari seorang presiden. Ketika seorang presiden dipaksa untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang dituntut oleh kelompok demostran, pada saat itu kuasa bekerja pada kelompok demonstran tersebut. Akan tetapi tentu saja kuasa yang dimaksudkan Foucault tidak sesederhana itu. Kuasa tidak dapat dilihat dari satu peristiwa saja, melainkan melalui jalinan berbagai peristiwa yang saling berkaitan.

Oleh karenanya secara sekaligus kuasa tidak dapat dialokasikan di satu tempat, ia tersebar dimana-mana, ia lebih merupakan relasi diantara subjek. Kuasa tidak berbentuk negara ataupun organisasi. Foucault lebih melihat kuasa sebagai efek, seperti halnya angin yang tidak tampak langsung, namun dapat dirasakan akibatnya.

Kritik Foucault terhadap kuasa dalam terminologi Marxis, tidak hanya pada bagimana kuasa bekerja. Akan tetapi juga pada penilaian terhadap kuasa. Foucault tidak pernah menganggap kuasa sebagai sesuatu yang negatif dan destruktif, seperti yang selama ini diandaikan oleh para pemikir Marxis. Baginya kuasa bersifat produktif, kuasa selalu merangsang lahirnya pengetahuan baru.

"Efek-efek kekuasaan tidak perlu lagi digambarkan sebagai yang menafikan, menindas, menolak, menyensor, menutupi, menyembunyikan. Ternyata kekuasaan itu menghasilkan : ia menghasilkan sesuatu yang rill, menghasilkan bidang-bidang obyek dan ritus-ritus kebenaran. Individu dan pengetahuan melanjutkan produksi itu."(Foucault dalam Haryatmoko, 2001: 219)

Kuasa bekerja lewat regulasi dan normalisasi, lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat digerakkan. Aturan yang menabukan wanita untuk berbicara menganai sex, adalah salah satu bentuk kuasa yang bekerja dalam masyarakat. Efeknya dapat dilihat dari ekslusi terhadap wanita yang berbicara sex secara gamblang, biasanya mereka akan dicap sebagai bukan wanita “baik-baik”. Inilah yang dimaksud Foucault dengan normalisasi.

Pembicaraan kuasa dalam pengertian Foucault, mau tidak mau akan menyeret pada apa yang disebut Foucault sebagai pengetahuan. Bagi Foucault, hubungan pengetahuan dengan kekuasaan selalu bersitegang, bersilangan, terkadang malah identik. Mengenai hubungan kuasa dan pengatahuan Kendall & Wickham berkomentar :

"Power mobilises non-startified matter and function, it local and unstable, and is flexible. Knowledge is stratified, archivised and rigidly segmented. Power is strategic, but is anonymous. The strategies of power are mute and blind, precsely because the avoid the form of knowledge, the sayable and visible."(Kendall & Wickham, 1999 : 51).

Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Kuasa menemukan bentuknya dalam pengetahuan. Berbeda dengan analisis Marxis yang masih menyisakan kebenaran dalam pengetahuan, Foucault melangkah lebih jauh dari itu, baginya setiap pengetahuan pasti mengandung kuasa dan setiap kekuasaan produktif menghasilkan pengetahuan. Artinya tidak ada kebenaran, bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sekalipun. Biologi, ekonomi, komunikasi, dan banyak disiplin ilmu modern lainnya, tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk subjek. Klaim ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran akan sifat pengetahuan yang netral, bagi Foucault adalah strategi kuasa. “Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan ia datang dari subyek tertentu” (Haryatmoko, 2003: 225).

Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terinstitusi menjadi displin pengetahuan. Jika telah demikian, maka bahasa adalah alat mengungkapkan kekuasaan, karena kuasa mendapatkan “kebenaran” dalam pernyataan-pernyataan ilmiah. Contoh dari apa yang dimaksud Foucault dengan hubungan kuasa/pengetahuan dapat dilihat dari analisanya mengenai sejarah kegilaan.

Kalau seorang tenaga medis berhasil mengisolasi kegilaan, bukan berarti ia memahami kegilaan, tetapi dia memilki kekuasaan atas “orang gila”. Foucault dengan cara itu ingin menunjukkan ilusi kenaifan ilmu-ilmu tersebut. Dalam konteks ini, Suveiller et Punir (1975) melukiskan bagimana bentuk baru kekuasaan semakin meyempurnakan diri dengan bantuan ilmu-ilmu manusia.(Haryatmoko, 2003:228)

Apa yang dikatakan Foucault dalam buku-bukunya sekaligus mengikrarkan bahwasanya pengetahuan adalah politik. Ilmu-ilmu manusia adalah perwujudan kehendak untuk berkuasa, klaim ilmiah dan kebenaran tidak lain merupakan startegi kuasa. Obyektivitas dan netralitas adalah cara lain untuk memaksakan kehendak akan kekuasaan. Dari analisanya yang tajam, jelas Foucault meninggalkan Marxisme dibelakang. Pengetahuan ilmiah yang dalam klaim Marx adalah satu-satunya cara untuk melihat kebenaran menembus kabut ideologi kelas berkuasa, kini telah runtuh.

Foucault kemudian melanjutkan analisanya mengenai kuasa dengan mengatakan bahwasanya sasaran dari kuasa adalah tubuh dan kepatuhan. Apa yang dimaksud Foucault dengan tubuh dan kepatuhan sebagai sasaran kekuasaan dapat dilihat dalam bukunya Disiplin dan Hukuman. Dalam analisisnya mengenai penjara, Foucault menemukan sebuah mekanisme disiplin yang disebutnya dengan Panoptisme. Panoptisme adalah sebuah bentuk pengawasan dalam penjara, yang pertama kali diperkenalkan oleh Jeremy Bentham.

"Inti mekanisme panoptik itu terletak dalam bentuk arsitekturnya. Dipinggir terdapat bangunan melingkar yang merupakan sel-sel tahanan dengan dua jendela terbuka yang diperkuat oleh jeruji besi: yang satu mengarah ke dalam sehingga terlihat jelas dari menara pengawas yang terletak ditengah lingkaran bangunan itu. Jendela terbuka lainnya diarahkan keluar supaya sinar menerangi sel. Dengan demikian, bukan hanya silhouette narapidana yang kelihatan, tetapi seluruh gerak – geriknya terpantau jelas. Narapidana tidak tahu siapa atau berapa yang mengawasi. Mereka hanya tahu bahwa diriya diawasi."(Haryatmoko, 2003: 232)

Efek yang ditimbulkan dari metode disiplin semacam panoptik adalah subjek selalu merasa diawasi, kendati pengawasan yang dilakukan tidak terus-menerus. Dengan demikian, kepatuhan di dapat dengan cara yang efisien dan murah. Subjek dengan otomatis menjadi pengawas bagi dirinya sendiri, inilah yang dimaksud dengan Panoptik.

Motede disiplin dalam berbagai bentuknya yang lain bekerja dalam masyarakat. Seorang pekerja akan dengan sendirinya rajin bekerja karena terotivasi untuk berprestasi. Seorang anak akan terus beribadah, kendati tidak ada orang tua yang biasa menyuruhnya beribadah. Perasaan takut akan dosa adalah penyebabnya. Disiplin adalah teknologi kuasa yang dimaksudkan untuk membentuk subjek.

Dalam berbagai bentuk strateginya kuasa berhasil mendapatkan kepatuhan dari subjek. Seperti yang ditunjukkan Foucault dalam Sejarah Seksualitas, konstelasi kuasa agama dan negara menghendaki kepatuhan seksualitas subjek dalam rangka mengatur populasi dan distribusi kekayaan. Program keluarga berencana adalah contoh yang tepat untuk menunjukkan hal itu.

Kendati demikian, subjek dalam pandangan Foucault bukan robot yang manut pada setiap kuasa yang coba membentuknya. Konsekuensi dari pengertian kuasa yang dibangun Foucault, dimana kuasa tidak bisa dimiliki, artinya cair atau tersebar, melahirkan konsepsi resintensi. Konsep ‘resistensi’ adalah, sebagaimana Ramazanoglu (1993) mencatat, bagian dari definisi Foucault tentang kuasa semenjak ia menentukan bahwa semua kuasa memproduksi resistennya. Resistensi atau perlawanan pada kuasa, menurut Ramazanoglu, dapat mengambil bentuk wacana baru yang menghasilkan ‘kebenaran baru’.

Oleh karenanya subjek dalam pemikiran Foucault adalah sesuatu yang aktif, ia bebas untuk memilih wacana atau kuasa mana yang akan digunakannya. Bagi Foucault komponen kritis dari kuasa adalah kebebasan, karena kuasa hanya dapat dikatakan menciptakan efek jika objek yang terkena kuasa memiliki kemampuan untuk melawan.

Subject are active in producing themselve. More than that, they are active in producing themselve as subjects in the sense of subjected to power: ‘An immesense labor to which the west has submitted generations in order to produce….men’s subjection: their constitution in both senses of the word’ (1978b: 60).(Kendall & Wickham, 1999: 53)

Diakhir analisisnya mengenai kuasa, seperti yang ditunjukkannya dalam The subject and Power. Foucault menyatakan bahwa tujuan karyanya bukanlah untuk menganalisa “fenomena kuasa, namun lebih kepada menciptakan suatu kesejarahan dari cara-cara yang dengannya, di dalam kebudayaan kita manusia dijadikan subjek” (Foucault, 1982; 208). Oleh karenanya corak utama dari analisa Foucault mengenai kuasa adalah suatu penentangan pada kuasa tidak muncul dari luar tapi dari menyangsikan “mekanisme konstitusi subyektivitas” (Foucault, 1982; 216-217). Untuk tujuan ini Foucault mengusulkan arkeologi dan genealogi sebagai cara baru memandang sejarah.

1 comment:

  1. Berharap bisa lebih produktif.
    Aku ingin berkuasa atas diriku sendiri. Bagaimana caranya kal????

    Mengisinya dengan pengetahuan?
    Berpolitik dengan waktu, apakah sudah produktif?

    Rasanya benar2 ingin menjajah diriku sendiri. Dengannya aku pun bisa menguasai waktuku.
    aaah, aku ingiiiiiiiiiiiiiiiiiin

    *curcolsiangbolong*

    ReplyDelete