Friday, June 17, 2011

The Order Of Things: Interview Foucault Dengan Raymond Bellour



Menjelaskan interview Foucault yang dilakukan oleh Raymon Bellour bukanlah hal mudah, apalagi berusaha mempresentasikan cakupan pemikirannnya yang luas. Ide dan gagasan yang ada dalam interview tersebut melingkupi banyak hal, mulai dari metode, epistemologi, bahkan penemuannya dalam The Order Of Things. Dalam upaya untuk memfokuskan penjelasan, saya akan merangkum empat belas pertanyaan yang diajukan oleh Bellour menjadi lima tema besar. Mudah-mudahan upaya ini tidak mereduksi apa yang sebenernya mungkin lebih kompleks dari interview tersebut.


1.Apa yang membedakan The Order of Things dengan Madness and civilization?

Madness and Civilization menurutnya adalah sejarah kategori atau klasifikasi. Disitu Foucault hendak melihat bagaimana manusia membedakan satu sama lain. Sementara dalam The order of thing, Foucault justru hendak melihat bagaimana perbedaan kategori dan hirarki yang ada dalam wacana di organisasikan menjadi suatu sistem yang dikatakan sebagai rasional.

To state how society reflect upon resemblance among things and how differences between things can be mastered, organized into network, sketched according to rational scheme (Foucault).

Penelusuran arkeologi yang dilakukannnya menemukan bahwa dalam berbagai hal yang secara kasat mata dikatakan sangat berbeda, sesungguhnya ada pengetahuan yang sifatya implisit (savoir) yang memungkinkan semunya menajdi teratur dan logis. Pada pengantar The Order Of Things untuk pembaca berbahasa Inggris Foucault mengatakan idenya untuk menulis ini diawali oleh pertemuannya dengan Borges. Borges dalam salah satu ceritanya menujukkan model taxonomi binatang di era Cina pra modern. Binatang tidak diklasifikasikan sebagaimana kita memklasifikasikannya sekarang, orang Cina pra modern membagi binatang menjadi kategori-kategori yang diantaranya:

a. Milik kaisar
b. Anjing liar
c. Jinak
d. Penghisap babi
e. Menakjubkan

Apa yang ditunjukkan oleh Borges adalah logik berpikir masyarakt Cina pada masa itu. Dari apa yang ditunjukkan Borges, Foucault melihat bahwa pengetahuan merupakan bentuk dari sebuah episteme yang menjadi kebenaran pada satu masyarakat dan masa tertentu. Sejarah pengetahuan manusia dan bahkan pengetahuan manusia mengenai sejarah terkotak-kotak dalam episteme yang berbeda satu sama lain, dan tidak ada hubunganya sama sekali. Apa yang membuat kita selama ini gagal untuk melihat fakta ini adalah akibat dari determinasi kausalitas dalam sejarah yang dominan. Sehingga kita terbiasa melihat yang lalu sebagai kuno, dan masa sekarang adalah lebih baik, karena merupakan bentuk progress masa lalu. Inilah yangs sesungguhnya hendak dihindari oleh Foucault dengan metodenya yang disebut arkeologi.

2.Apa yang dimaksud dengan Arkeologi?

By archaeology I would like to designate not exactly a discipline but also a domain research, which would be the following: in a society, different body of learning, philosophical ideas, every day opinion, but also institution, commercial practices and police activities, mores-all refer to certain implicit knowledge(savoir) special to this society (Foucault).

Dari apa yang dipaparkan ole Foucault diatas, arkeologi adalah disiplin dan sekaligus domain studi yang meliputi berbagai aspek kehidupan masayarakat yang bertujuan untuk membongkar apriori yang ada dalam setiap bentuk pengetahuan (savoir). Arkeologi memiliki dua prinsip yang menjadi ruhnya. Pertama adalah prinsip “kontigensi” lawan dari cara berpikir kausalitas dan yang kedua adalah “suspending second order Jugment”.

Kontigensi merupakan konsep yang menolak prinsip kausalitas karena telah mengabaikan adanya kebetulan dan kemungkinan ketiga. Jika dalah prinsip kausalitas mendung menandakan akan hujan. Maka cara berpikir kontigen akan mengatakan terjadinya hujan tidak melulu ada hubungannnya dengan mendung ataupun penguapan air laut. Dengan kata lain, ada banyak daya/kuasa atau dalam bahasa sejarah modern disebut dengan “cause” yang menyebabkan suatu peristiwa.

Cara berpikir kontigensi akan memberi kita banyak kejutan dalam melihat sejarah, dengan begini sejarah akan terus menemui kebaruan. Persis seperti yang dikatakan Foucault, tugas Arkeologi bukanlah untuk memfixkan sejarah, melainkan untuk terus menerus mempersoalkannya. “ to use it, to deform it, to make it groan and protes” (Foucault, dalam Kendal & Wickham,1999 : 1).

Pada tingkat yang paling radikal berpikir arkeologis atau kontigen berarti juga menolak kategori masa lalu dan hari ini. Karenanya aforisme “sejarah hari ini” juga dipakai untuk menunjuk pendekatan Foucault terhadap sejarah. Masa lalu dan masa sekarang tidaklah hierarkis seperti dalam prinsip kasusalitas melainkan berdampingan.

Foucaltian are not seeking to find out how the present has emerge from the past. Rather, the point is use history as way to diagnosing the present” (Kendall&Wickham, 1999: 1).


Dalam pengertian ini tiap jaman memiliki episteme yang berbeda, dan tidaklah adil bila kita menilai masa lalu dengan epistem yang berlaku sekarang. Arkeologi karenanya menolak logika progres (modern-positivis) dan regres (modern-Marxis) dalam penulisan sejarah. Seperti yang dikatakan Foucault “history not going anywhere”.

Pandangan ini seriring sejalan dengan prinsip kedua dari arkeologi, yaitu “suspending second order jugment”, yaitu penundaan pendapat atau penilaian. Sering kali kita mendekatai sejarah dengan pendekatan teoritis tertentu, seperti yang dilakukan para Marxis misalnya. Sejarah selalu dilihat sebagai dialektika kelas. Artinya sejarah tidak dibiarkan datang dengan “telanjang”, sejarah telah dibungkus rapat dengan asumsi teoritis yang telah ada sebelumnya. Pendekatan sejarah yang demikian akan mereduksi sejarah dan mengkhianati kompleksitasnya.

3.Dari mana The order Of Thing dimulai?

Pertanyaan yang sering kali muncul ketika kita membaca buku Foucault adalah dari mana ia memulai investigasinya dan bagaimana ia menentukan periode sejarah yang ditelusurinya kemudian? Dalam berhadapan dengan pertanyaan tersebut, Foucault mengatakan pada saat melahirkan The Order of Things, ia mengawalinya dengan keheranan akan persoalan mengenai makna dan tanda yang menjadi masalah dalam budaya Eropa, seperti yang diangkat oleh Freud, Saussure, dan Hussrel.

…If the question of meaning and of the realtion between meaning and the sign had not appered in European culture with Freud, Saussure, Husserl, it obvious that it would not have been necessary to investigate the subsoil of our conciusness of meaning (Foucault).

Ketiga orang tersebutlah yang mengantarkan Foucault pada penelusuran sejarah pengetahuan Eropa abad ke 17. Foucault melihat apa yang dihadapi oleh ketiganya adalah problem Yang juga muncul diabad ke 17. Abad yang dikatakan oleh Foucault sebagai abad dimana mekanisasi terhadap alam tumbuh subur di Eropa. Dan sekaligus abad dimana manusia “ditemukan” (savoir). Foucault melihat manusia sebagai konsep lahir dari kehendak untuk menjelaskan apa yang dulu dikatakan sebagai “nature”. lahirya biologi, matematika, dan ilmu bahasa, kemudian mendorong suatu sistem bahasa (systematic taxonomy of things) untuk menjelaskan manusia. Melalui literature-literatur yang dibacanya, Foucault melihat usaha manusia untuk menjelaskan dirinya.

…man constituted them himself, a man who is as much one who lives, who speak and who work, as one who experience (connait) life, language and work, as one who finally who can be known to extent that he lives, speaks and work (Foucault).

4.Dengan latarbelakang yang demikian, bagaimana konsekuensinya pada hidup kita sekarang?

Dengan belajar melalui sejarah kita paham bahwa subjek/manusia bukanlah sesuatu yang fix, akan tetapi selalu tidak stabil, bergerak melalui wacana atau episteme yang berlaku pada saat itu. Manusia dilahirkan oleh bahasa (mekanisasi abad ke 17), dan ironisnay juga “dibunuh” oleh bahasa. Matinya manusia dalam pengertian ini adalah terkuburnya manusia oleh tanda-tanda yang berusaha menjelaskan eksistensinya (ilmu).

Kerinduan untuk kembali menemukan manusia dalam lautan bahasa, mengulang persoalan yang pernah terjadi di abad ke 17 mengenai manusai dan tanda. Inilah yang dilakukan oleh Freud, Saussure, dan Hussrel Dengan mencoba menemukan “makna terdalam” (hidden meaning) dalam individu manusia. Akan tetapi, proses ini bukanlah sesuatu yang dapat dikatakan sebagai usaha yang “murni” untuk menemukan manusia sebagai “nature, melainkan bentuk order yang lain, yang dikatakan oleh Foucault sebagai “Order Of Man”. Semenjak abad ke 19, “Order of man” dan “Order of Sign” tidak pernah menemukan keselarasan. Adalah Nietzche yang pertama melihat persoalan ini , “Man Would die from the sign that were born him” (Nietzche).

5.Apa konsekuensi dari ketidakselarasan “order of man” dan “order of sign”?

Foucault memberi tiga contoh dari apa yang diakibatkan oleh benturan tersebut. Pertama adalah lahirnya ide yang dikatakannya “mewah” mengenai metode analisis manusia dengan bahasa. Suatu hal yang sebelumnya seolah kontradiktif, kini menjadi mungkin dilakukan. Dalam upayanya untuk menemukan kemanusiaan, psikoanalisis dan fenomenologi meminjam alat bahasa untuk menembus subjek yang bersembunyi dalam hasrat dan makna yang murni.

Kedua, lahirnya Antropologi humanis yang menggunakan ilmu-ilmu mengenai manusia sebagai alat untuk membebaskan manusia. Pengalaman menujukkan ilmu mengenai manusia pada perkembangannya justru mengarahkan pada hilangnya manusia daripada membawanya untuk menempati posisi yang luhur(apotheosis). Dan terakhir, status literatur pun berubah, ketika ia berhenti jadi order of discourse dan menjadi manisfestasi dari bahasa. Menjadikan kita terombang-ambing dalam humanisme yang kabur(intrepertasi) dan formalisasi bahasa yang murni (sign).

THE ORDER OF THINGS (Interview with Raymond Bellours) in James D. Faubion (ed.), Essential Works of Michel Foucault, 1954-84. Volume II: Aesthetics, Method, and Epistemology, Robert Hurley et al. trans., London: Penguin Books, 1998

No comments:

Post a Comment