Monday, October 17, 2011

Membaca “Wajah Terakhir”



Lama sudah, kurang lebih satu bulan, kumpulan cerpen bertajuk “wajah terakhir” bertengger dalam rak buku saya. Butuh waktu yang relatif lama bagi saya untuk menyelesaikannnya. Dibanding kumpulan cerpen lain ataupun novel yang pernah saya baca, “wajah Terakhir” karya Mona Sylviana , termasuk yang membutuhkan waktu paling lama dan menguras energi. Meski tidak lebih dari 129 halaman, Wajah terakhir menghabiskan lebih banyak waktu dari pada membaca novel Imperium karya Robert Harris, yang jumlah halamannya mencapai  413.
Banyak hal yang menyengat dan mengejutkan dalam narasinya, sehingga butuh kemauan dan energi lebih untuk mencernanya. Narasi Mona, jelas jauh dari harapakan mereka yang ingin melihat sastra sebagai dunia yang indah dan penuh kelembutan. Akan tetapi, bagi saya justru itulah kekuatannya.

Wajah terakhir, menghadirkan pada kita wajah lain dari perempuan. Mungkin wajah paling terakhir yang ingin kita lihat melekat pada perempuan. Seperti wajah yang “cacat”, bagai “borok” yang ingin kita cungkil, agar tidak menodai bagian tubuh yang mulus. Dalam wajah terakhir, Mona menulis perempuan dengan jujur. Ia tidak hanya menulis paras cantik perempuan namun terutama  wajah ketertindasannya di alam patrialki. Karena itu, saya pikir Mona mengembangkan teknik dan pilihan narasi yang mampu membangunkan bulu kuduk, seperti kisah perempuan dalam “Mata Marza”:

 
Marza membuka celana. Kulit ari diselangkangan mengelupas, menempel di celana dalam. Marza jongkok dan menunduk. Air kuning kemerahan mengalir dari vagina. Air pekat itu keluar bersama bau nanah. Busuk menyeruak. Marza menggigit bibirnya kuat-kuat. Menahan perih. Dari perut. Dari vagina.  (sylviana,2011: 116)

Dalam ritme hidup perkotaan yang kian cepat, ruang bagi refleksi kian terkubur oleh rutinitas, sehingga rasanya tidak banyak teks yang mampu mengajak kita berdialog. “Wajah terkahir”, bagi saya adalah salah satunya. kekuatan narasinya, mengajak menggali apa yang mungkin telah lama kita reprepsi, dan kita tolak sebagai bagian dari kenyataan. Itulah mengapa setidaknya bagi saya, kumpulan ini menjadi layak dibaca. 

Perempuan dalam “Wajah Terakhir
Undangan dialog itu bagi saya adalah upaya memahami perempuan. Teks Mona, mencoba mengetengahkan persoalan perempuan dalam budaya kita. Setidaknya, ada beberapa hal yang saya garis bawahi dalam teks mona mengenai perempuan. Pertama, Wajah Terakhir melihat perempuan sebagai mahluk yang tertindas. Hampir semua cerpen dalam kumpulan ini berkisah soal itu. 

Ketertindasan perempuan didefinisikan sebagai pengalaman akan kekerasan, baik secara fisik, psikologis maupun seksual. Wajah perempuan dalam teks ini, dalam bahasa Aquarini, adalah wajah yang abjek(bagian abnormalitas dalam diri yang sering kali kita negasikan). Kekerasan dan ketertindasan seolah bagian inheren dalam hidup perempuan di alam patrialki. Tema-tema seperti pemerkosaan, inses, dendam, dan pembalasan, tidak kurang menghiasi narasi-narasi cerpen dalam kumpulan ini.

Tertindas, bukan berarti mengalah pada kondisi objektif. Perempun dalam wajah terakhir adalah juga perempuan yang berdaya untuk melawan. Hal ini misalnya, digambarkan dalam cerpen terakhir dalam kumpulan ini, yang berjudul “wajah terakhir”. Maria mengambil botol air mineral. Jemari lembabnya membuka tutup botol. Mengisap sedotan pelan-pelan. Kanker stadium empat tidak akan lama. Apa salah kalau aku membantu, mempercepatnya (Sylviana,2011: 129).

Maria adalah tokoh yang memilih membunuh orang yang pernah memperkosanya. Dalam ketertindasan yang  membungkamnya, kelembuatan, ia ubah menjadi kekuatan yang mematikan. Tokoh perempuan dalam kumpulan ini bukanlah individu yang hidup dalam kesadaran praktis, melainkan individu yang reflektif. Perempuan mampu menafsirkan ketertindasannya berkat kemampuannya untuk menata dan menafsirkan pengalaman. Itulah mengapa flash back jadi ciri utama kepengarangan Mona dalam kumpulan ini. Misalnya, dapat kita lihat melalui dialog dalam kisah “Pernikahan (kisah perempuan Nadin”:

“Apa katamu?”
“Tuli apa? enggak punya telinga?”
Nadin menggeleng-gelengkan kepala.
“kamu pikir dengan menjilat kaki ku semuanya akan selesai. Aku tidak butuh hanya sambal terasi tahu! Kepala kerbau!
Suara itu milik ayahnya.
Nadin melihat laki-laki itu berkacak pinggang. Mengingatkan Nadin pada gambar walanda di halaman buku pelajaran. Kata orang-orang, walanda itu artinya penjajah. Penjajah artinya raksasa putih jahat yang suka makan kepala orang (Sylviana,2011: 6).

Pada akhirnya, kita disuguhi perempuan sebagai aktor yang rasional meski kerap kali lugu. Dengan cara penggambaran yang naïf, perempuan, menafsirkan kekerasan laki-laki sebagai “penjajahan”. Atau dalam narasi “perjalanan Hujan” disebut sebagai “raksasa”. Kreatifitas perlawanan dalam bahasa merupakan ciri lain wajah perempuan dalam kumpulan ini. Dengan kata lain, ketertindasan sekaligus menjadi lahan yang subur melahirkan perempuan-perempuan yang kuat bernalar.

Kita tentu saja boleh tidak sepakat pada apa yang Mona tampilkan sebagai wajah perempuan. Namun, ketertindasan perempuan tetap menjadi kenyataan bagi kita. Hanya saja, budaya yang melingkupi perempuan hari ini tentu berbeda dengan yang melingkupi tokoh Srintil dalam novel Ahmad Tohari ,“Ronggeng Dukuh Paruk”. 

Sehingga kita bisa bertanya, masikah relevan kah menulis perempuan dalam batas penindasan? dalam pengertian kekerasan fisik dan pemerkosaan. Bukan bermaksud mengingkari fakta kekerasan dan pelecahan terhadap perempuan yang hingga kini masih juga kerap terjadi. Akan tetapi bukankah kini penindasan itu telah meresap begitu latennya dalam hubungan yang bahkan dilandasi kasih sayang? Dalam keluarga normal sekalipun kita masih melihat adanya pengingkaran terhadap pilihan hidup perempuan misalnya. Saya hanya khawatir, pilihan Mona untuk menulis yang “other” (yang terpinggirkan) membuat kita tidak awas terhadap realitas yang dikatakan “normal” itu. 

Dalam beberapa cerpen, Mona berhasil mengukapkan intensitas penindasan tanpa harus mengekploitasi kekerasan fisik dan seksualitas. Cerpen “perjalanan Hujan” bagi saya adalah salah satunya. Dalam kisah tersebut, perempuan mampu memberontak dari represi seksualitas yang mengekangnya. Ia berani membayangkan bersetubuh dengan laki-laki yang bukan suaminya. Kategori “baik” dan “buruk” yang selama ini menjadi rantai kebebasan perempuan atas tubuhnya pun dibongkar. 

Implikasi lain dari pilihan Mona untuk menulis suara “other” adalah tidak terhindarkannya oposis biner, dimana perempuan ditempatkan sebagai korban dan laki-laki sebagai representasi kekuasaan. Hampir semua narasi dalam kumpulan ini mengoperasikan oposisi biner yang demikian. Sehingga terkesan hitam putih. Padahal sebagai bentuk penindasan, budaya patrialki juga ikut dilembagakan oleh perempuan, dan sebaliknya, tidak semua laki-laki merupakan wakil dari kekuasaan yang menindas.

Namun itulah tugas teks, untuk selalu luput. Tidak terkecuali tafsir saya dalam tulisan ini. Teks yang baik, setidaknya bagi saya, bukanlah yang mampu mengungkapkan kebenaran, melainkan yang mampu mengajak kita memikirkan tawaran gagasanya, dan melahirkan makna kita sendiri atasnya. Dengan kata lain, teks yang baik adalah juga yang produktif. Dalam hal ini, “wajah Terakhir”, telah melaksanakan tugasnya dengan baik. wassalam

8 comments:

  1. Cara membedah lo selalu menarik, Kal! Walau bgtu, gw sebenarnya udah cape dengan penulis2 perempuan yg masih berkutat di tema2 ini. Sebagai karya sasatra, ia layak dibacakah?

    ReplyDelete
  2. sebagai sebuah karya, lebih dari sekedar layak, roy. Mona mampu mengalirkan narasi menjadi melodi yang harmoni. recomendedlah.

    ReplyDelete
  3. dimana boleh sy dapatkan buku ini ya ? kalau di malaysia

    ReplyDelete
  4. saya tidak tahu apakah buku ini juga di jual secara online, kawan said. tapi rasanya layak untuk ditanyakan. coba saja kawan said tanyakan pada institut nalar jatinangor, via facebook di alamat ini http://www.facebook.com/groups/161134480620217/?ref=notif&notif_t=group_activity,semoga bisa.

    ReplyDelete
  5. tentu saja di pos kan,hehe..memang nak beli berapa?nanti saya sampaikan sama kawan2 nalar.

    ReplyDelete
  6. satu pun tak apa,kalau ada waktu luang, nanti aku poskan. Belakangan aku sedang di sibukkan dengan urusan hidup mati, hehe. lebih lanjut kita ngobrol di email saja kawan, ini email ku, heychael@gmail.com

    ReplyDelete