Monday, August 8, 2011

Commentary dan Rezim Kebenaran


Menurut Foucault, proses limitasi, seleksi, kontrol, dan eksklusi adalah usaha untuk melanggengkan sebuah rezim kebenaran tertentu. Dalam analisisnya pada masyarakat barat, Foucault menemukan rezim kebenaran dalam teks  ditegakkan di atas prinsip yang dalam dirinya sendiri cenderung membatasi makna.

Proses produksi dan reproduksi teks di barat dapat dicermati bekerja atas dasar prinsip-prinsip limisitas yang mempertahankan penyempitan makna. Prinsip ini tampak jelas, jika dilihat dari beroperasinya apa yang disebut dalam mekanisme produksi sebagai commentary. Commentary bisa didefinisikan sebagai teks yang berisi ulasan atas teks lain. 

Misalnya, betapa banyaknya buku yang terbit mengulas pemikiran Marx, tulisan-tulisan yang berusaha membahas atau menjelaskan pemikiran Marx dapat kita kategorikan sebagai commentary. Commentary sebagai sebuah teks sekunder memuat berbagai macam uraian mengenai materi-materi dalam teks-teks yang tergolong teks primer. 

Menurut Foucault, tugas utama teks-teks sekunder adalah saling bergantian berusaha mengungkapkan makna ataupun hal-hal tersembunyi dari teks-teks primer yang belum terjamah oleh teks-teks sekunder lainnya. Persebaran teks-teks sekunder ini menurut Foucault tanpa disadari berfungsi sebagai medium yang menjaga batas-batas diskursif pengetahuan barat agar tidak keluar dari batas yang ditentukan suatu rezim kebenaran tertentu. (Suyono, 2002: 183)

Commentary sebagai teks yang bertugas mengungkap makna tersembuyi dalam teks lain, bersifat paradoks. Disatu sisi commentary memberi kebebasan pada usaha penggalian makna dalam teks-teks primer. Di sisi yang lain commentary hanya dapat menyuarakan apa yang ada dalam teks primer sebagai sesuatu yang telah selesai. Dalam bahasa Foucault commentary hanya menjadi teks yang menyataan kembali sesuatu yang dengan diam-diam pada teks primer telah diartikulasikan. Singkat kata, commentary tidak akan pernah mampu melampaui teks untuk menjadi kreatif.

Repetisi adalah apa yang berbahaya dari commentary, ia hanya melanjutkan kuasa pengetahuan dari teks primer yang di intrepretasikannya. “Oleh karenanya menurut Foucault, kebaruan yang diajukan commentary bukan terletak pada apa yang dikatakannya tapi semata-mata hanya terletak pada kebaruan dalam hal kemunculannya kembali” (Foucault, 1972: 221 dalam Sheridan, 1980: 124). Tepat inilah apa yang dimaksud Foucault dengan commentary sebagai yang turut menjaga batas-batas diskursif pengetahuan barat tetap pada batas yang dikehendai oleh suatu rezim kebenaran tertentu.

Praktek yang sama terjadi, misalnya pada tulisan ini, tafsir terhadap diskursus Foucault yang ada di blog ini, tidak keluar dari diskursus dominan mengenai bagaimana Foucault biasanya di tafsirkan. Pada akhirnya, seperti yang telah diungkap dalam tulisan lain mengenai aturan wacana, “thinks is not special”. Karena apa yang dimaksud dengan berpikir  dalam pengertian modern tidak lain mengulangi aturan diskursus dominan(konsensus). Kendati demikian, kenyataan dari sifat teks yang selalu cair, membawa berbagai usaha penafsiran terhadapnya tetap memungkinkan lahirnya subjek yang selalu baru. 

NB: Review: “Tubuh Yang Rasis” karya Seno Joko Suyono

No comments:

Post a Comment