Pertama kali saya menonton “The
lady”, saya memang telah menyiapkan diri untuk melihat sebuah perjuangan
menempuh demokrasi yang dilakukan seorang perempuan bernama Aung san Suu Kyi,
di Birma. Sepulangnya dari bioskop, saya pun tidak kecewa dengan film garapan
Luc Besson itu. Saya agak terkejut ketika pertama kali diminta untuk bicara
mengenai film ini di Institu Nalar Jatinangor, saya menemukan berbagai ulasan yang berisi kritik yang
tersebar di harian-harian luar negeri seperti The Guradian dan The Telegraph.
The Guardian menyebutnya “lack of
passion”, sementara The Telegraph mengatakan “get the perspective wrong”. Saya
pun menguji pendapat-pendapat ini dengan sekali lagi menonton “The lady”, kali
ini tidak di bioskop, melainkan di depan laptop, berbekal dvd bajakan. Berbeda
dengan kondisi pertama kali menonton, kali ini saya mengisi kepala dengan
berbagai “review” soal film ini dan sedikit sejarah Birma serta biografi Suu
Kyi hasil diskusi dengan seorang kawan.
Hasilnya pun berbeda. setelah menonton ulang, setidaknya saya mengajukan tiga keberatan pada film ini. (1) saya merasa film garapan Besson ini tidak memberi alasan cukup pada Suu kyi untuk sampai menjadi seorang perjuang demokrasi yang gigih. Seingat saya setidaknya hanya dua alasan yang diajukan. Pertama, sejarah ayahnya yang terbunuh oleh Junta Militer. Kedua, kunjungannya ke Birma pada era delapan puluhan untuk menjenguk ibunya, dan disaat bersamaan ia melihat kekejian demi kekejian yang dilakukan Junta terhadap Pelajar yang protes dan bahkan dokter yang coba menolongnya. Apakah itu cukup untuk mengetengahkan sebuah pilihan yang berani juga tragis untuk meninggalkan hidup nyaman di Inggris dengan suami dan dua anaknya? (2) The Lady seolah-olah menempatkan perjuangan Birma dalam satu tangan saja, Suu Kyi seorang diri. Tokoh-tokoh perjuangan lain tidak digambarkan perannya secara utuh. (3) Terakhir, satu hal yang amat disayangkan, film ini tidak terlalu berhasil menunjukkan visi Suu Kyi mengenai demokrasi di Birma. Kegagalan ini terlihat dari kurangnya dialog dan pidato Suu kyi yang mampu mengetengahkannya. Meski demikian, film ini bukan tidak sama sekali berupaya menyampaikannya. Potongan-potongan adegan seperti protes Suu Kyi yang dilakukannya di dalam rumah - dengan menempel kutipan tulisan-tulisan Gandhi- dan kunjunganya dalam kampanye ke suku-suku pedalaman, bagi saya merupakan bagian dari upaya itu. Hanya saja kurang elaboratif, sehingga kita tidak menemukan suatu jalinan utuh gagasan seorang pejuang demokrasi.
Dengan kerangka pandang baru itu ,
saya mau tidak mau menyepakati pandangan The Guardian mengenai hilangnya
kompleksitas sosiologis maupun psikologis yang melahirkan hasrat yang besar
dalam diri Suu Kyi untuk terlibat dalam perjuangan demokrasi di tanah airnya.
Namun tidak pada The Telegraph, yang mengatakan Luc Besson telah salah menilai
posisi Suu Kyi dalam perjuangan Birma. Saya pikir, Besson bukan tidak menyadari
kurangnya elaborasi terhadap hal-hal tersebut, melainkan ia memilih membingkai
Suu Kyi dalam konteks yang lain. Konteks yang berbeda dengan mereka yang
berharap akan menyaksikan sebuah episode sejarah penindasan dan perlawanan
terhadapnya.
Kritik The Guardian dan keberatan
saya , sesungguhnya datang dari suatu harapan. Harapan untuk melihat peran Suu
Kyi dalam konteks sejarah dan politik Birma yang lebih besar. Rupanya Besson
lain, alih-alih melihat Suu Kyi dalam kerangka Birma, ia pertama-tama
mendudukan Suu Kyi sebagai manusia. Satu hal yang kerap kali dialfakan dalam
pembacaan struktural (ekonomi, politik, dan budaya) dalam melihat film.
Eksistensi dan Demokrasi
Dapat saya bayangkan mereka yang memahami
sejarah dan politik Birma tentu saja tidak akan terpuasakan dengan film besutan
Besson ini. Politik dan sejarah Birma dalam film ini dijadikan latar belakang
dari tumbuhnya seorang perempuan, istri, dan ibu. Dan bukan sebaliknya,
perempuan yang dilahirkan politik dan sejarah Birma. Menurut saya, pilihan
Besson untuk mengembangkan cerita berdasar pada hubungan Suu Kyi dan Michael
Aris, merupakan konsekuensi logis dari pilihan ini.
Gaya bertutur Besson yang
menjadikan Suu Kyi sebagai kaca mata untuk melihat Birma, tentu saja berakibat
pada tereduksinya beberapa aspek politik dan sejarah yang penting dari Birma. Sekaligus
memberi porsi yang besar pada aspek eksistensial Suu Kyi, yang digambarkannya
sebagai suatu pergulatan atas berbagai konflik identitas, yaitu istri, ibu, dan
pejuang demokrasi.
Sebelum menjadi tokoh pro
demokrasi dan kebebasan dalam sejarah Birma, Besson pertama-tama menggambarkan
pergulatan Suu Kyi untuk memilih tujuan hidup. Hubunganya dengan anak dan
suaminya digambarkan sebagai berkah sekaligus musibah. Tentu saja perjuangan
akan jauh lebih mudah bila ia belum menikah dan terikat pada tanggung jawab
keluarga. Disisi lain, tanpa dukungan dua orang anak dan suaminya, Suu Kyi
belum tentu mampu bertahan sampai saat ini. Dilema ini digambarkan dengan baik
dalam The lady, lewat suatu adegan ketika seorang pemimpin Junta menawarkan
untuk mengunjungi anak dan suaminya di London, dan melanjutkan hidup yang sudah
dimilikinya, dengan catatan ia tidak akan pernah kembali ke tanah airnya.
Dengan berani Suu Kyi menolak tawaran itu.
Suu Kyi juga adalah manusia dan
juga perempuan, tahanan rumah yang diberikan Junta padanya, lebih dari sekedar
hukuman fisik namun juga psikologis. Apa yang lebih menyakitkan bagi seorang
perempuan selain dipisahkan dari anak-anaknya. Lebih dari itu, Ketika Ia
dipaksa memilih keluarga atau bangsanya, Suu Kyi sekaligus diajak menawar
kembali eksistensinya sebagai manusia. Suu Kyi pun menangisi pilihannya dan
tengelam dalam kerinduan dan kegelisahan yang teramat sangat. Ia bukanlah
wanita besi, melainkan wanita dan ibu dari dua orang anak laki-laki, sekaligus
juga ibu dari demokrasi Birma yang sedang dikandungnya.
Dalam adegan lain, Suu Kyi
digambarkan menawarkan suaminya untuk mengakhiri pernikahan mereka, seraya
mengatakan ia akan mengerti jika itu yang diinginkan Michael Aris. Suu Kyi
merasa harus adil pada suaminya, pilihan untuk berjuangan demi Birma adalah
keputusannya, dan ia tidak memaksa suaminya mesti memahami itu jika tidak
bersedia. Michael Aris, memilih menemani Suu Kyi dan berbagi mimpi bersamanya.
Pilihan sang suami untuk menemani perjuangan Suu Kyi merupakan pilihan yang sepenuhnya disadari, meski perjuangan milik bersama, tanggung jawab dan implikasi atas pilihan itu menjadi milik setiap Individu. Itulah mengapa bahkan ketika sakit parah, Michael Aris tidak meminta Suu Kyi untuk pulang. Begitu juga halnya Suu Kyi yang memaksa bertahan di Birma dan tidak menghadiri upacara penguburan sang suami. Suu Kyi yakin sang suami memahami pilihannya dan begitu pula sebaliknya. Dengannya, ikatan suami instri diantara keduanya, tidak saling “menenggelamkan”, sebaliknya menjadi penguat satu sama lain.
Hal ini mengingatkan saya pada
Kierkegaard, yang sepanjang hayat berupaya membebasakan manusia dari “tirani
publik”. Bagi filsuf asal Denmark itu, publik mengacam kemanusian. Sebab ketika
kita meilhat manusia dalam kerangka publik dan atau kemasyarakatan, kita kerap
kali tidak mampu menemukan manusia. Apa yang kita lihat adalah orang Birma,
Politisi, pejuang demokrasi, dan banyak lainnya. Individu lenyap dalam
atribut-atribut identitas.
Publik bagi Kierkegaard mengancam
karena berpotensi menelan eksistensi manusia dan menampilkannya sebatas
subjektivitas yang abstrak. Kierkegaard bukan sama sekali menolak kelompok dan
ikatan. Hanya saja baginya, sebelum itu manusia perlu mencapai satu tahap
kedewasaan tertentu. Tahap yang disebutnya sebagai tahap etis. Tahap etis,
dijelaskanya sebagai tahap dimana manusia memahami pilihan-pilihannya dan tujuan
yang ingin dicapainya. Dan itu pula yang rupanya jadi modus operasi kebebasan
yang diusung Suu Kyi. Setidaknya itu yang dapat kita tangkap dari caranya
menyikapi hubungan dengan suami dan keluarganya.
Demokrasi dimulai dari kesadaran
individu-individu yang memilih untuk berkumpul demi hidup bersama yang adil dan
sejahtera. Demokrasi dengannya membutuhkan otonomi individu dan kesadaran
rasional. Dalam konteks ini, Negara dan bangsa ada berkat pengakuan dari atas
kebawah. Tanpa individu yang kuat dan reflektif, demokrasi hanya akan berakhir
menjadi seperti yang disinggung Kiayi Haji Mustofa Bisri dalam puisinya:
Inilah zaman
kemajuan
ada syrup
rasa jeruk dan durian
ada kripik
rasa keju dan ikan
ada republik
rasa kerajaan
(Mustofa
Bisri, Zaman Kemajuan, 1997, dalam majalah Madina-online)
Tentu saja setiap teks tidak
mungkin mampu merangkum semua. kontradiksi adalah keniscayaan menurut Derida,
dan itu pula yang kita saksikan ada dalam film ini. Suu Kyi adalah pejuang
demokrasi yang lahir dari episteme feodal, yang cirinya antara lain kultus
Individu. Suu Kyi jelas berhutang budi pada nama besar ayahnya, Jendral Aung
san.
Memperjuangakan demokrasi
ditengah masyarakat yang hidup dan menghidupinya dalam diskursus feodalisme
merupakan ironi tersendiri. Bagi saya hal tersebut tidak lain bagian dari
pergulatan eksistensi Suu Kyi. Sayang film garapan Besson tidak menggambarkannya
lebih jauh. Film bagaimanapun adalah medium yang dibatasi “frame” dan durasi.
Memintanya mengungkapkan sebanyak buku mampu mengungkapkan, rasanya tidak adil.
Tidak juga film, buku, ataupun medium bahasa lainya mampu mengungkap semua. Seperti
ungkap Lacan “Saya selalu bicara kebenaran, namun tidak semuanya, sebab tidak
ada caranya untuk itu”.
Kita
boleh saja tidak sepakat dengan gaya penuturan biografi seperti yang
ditunjukkan Besson. Akan tetapi, bagi saya sulit menolak pesona narasinya yang
sugestif. Film ini telah berhasil mengajak kita merenungkan ajakan Suu Kyi,
seperti tertera dalam kalimat terakhir di penghujung film ini, “Please use your
freedom to promote our”. Sepakat atau tidak, The Guardian, The Telegraph, dan
juga saya, telah menyambut ajakan ini. Pun itu baru sampai tahap iman yang
paling lemah, menulis dan mendiskusikannya.
Sumber Foto: http://the-lady-movie-trailer.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment