Tuesday, May 22, 2012

The Lady : Diri, Keluarga, dan Bangsa


Pertama kali saya menonton “The lady”, saya memang telah menyiapkan diri untuk melihat sebuah perjuangan menempuh demokrasi yang dilakukan seorang perempuan bernama Aung san Suu Kyi, di Birma. Sepulangnya dari bioskop, saya pun tidak kecewa dengan film garapan Luc Besson itu. Saya agak terkejut ketika pertama kali diminta untuk bicara mengenai film ini di Institu Nalar Jatinangor, saya menemukan berbagai ulasan yang berisi kritik yang tersebar di harian-harian luar negeri seperti The Guradian dan The Telegraph.

The Guardian menyebutnya “lack of passion”, sementara The Telegraph mengatakan “get the perspective wrong”. Saya pun menguji pendapat-pendapat ini dengan sekali lagi menonton “The lady”, kali ini tidak di bioskop, melainkan di depan laptop, berbekal dvd bajakan. Berbeda dengan kondisi pertama kali menonton, kali ini saya mengisi kepala dengan berbagai “review” soal film ini dan sedikit sejarah Birma serta biografi Suu Kyi hasil diskusi dengan seorang kawan.

Hasilnya pun berbeda. setelah menonton ulang, setidaknya saya mengajukan tiga keberatan pada film ini. (1) saya merasa film garapan Besson ini tidak memberi alasan cukup pada Suu kyi untuk sampai menjadi seorang perjuang demokrasi yang gigih. Seingat saya setidaknya hanya dua alasan yang diajukan. Pertama, sejarah ayahnya yang terbunuh oleh Junta Militer. Kedua, kunjungannya ke Birma pada era delapan puluhan untuk menjenguk ibunya, dan disaat bersamaan ia melihat kekejian demi kekejian yang dilakukan Junta terhadap Pelajar yang protes dan bahkan dokter yang coba menolongnya. Apakah itu cukup untuk mengetengahkan sebuah pilihan yang berani juga tragis untuk meninggalkan hidup nyaman di Inggris dengan suami dan dua anaknya? (2) The Lady seolah-olah menempatkan perjuangan Birma dalam satu tangan saja, Suu Kyi seorang diri. Tokoh-tokoh perjuangan lain tidak digambarkan perannya secara utuh. (3) Terakhir, satu hal yang amat disayangkan, film ini tidak terlalu berhasil menunjukkan visi Suu Kyi mengenai demokrasi di Birma. Kegagalan ini terlihat dari kurangnya dialog dan pidato Suu kyi yang mampu mengetengahkannya. Meski demikian, film ini bukan tidak sama sekali berupaya menyampaikannya. Potongan-potongan adegan seperti protes Suu Kyi yang dilakukannya di dalam rumah - dengan menempel kutipan tulisan-tulisan Gandhi- dan kunjunganya dalam kampanye ke suku-suku pedalaman, bagi saya merupakan bagian dari upaya itu. Hanya saja kurang elaboratif, sehingga kita tidak menemukan suatu jalinan utuh gagasan seorang pejuang demokrasi.

Dengan kerangka pandang baru itu , saya mau tidak mau menyepakati pandangan The Guardian mengenai hilangnya kompleksitas sosiologis maupun psikologis yang melahirkan hasrat yang besar dalam diri Suu Kyi untuk terlibat dalam perjuangan demokrasi di tanah airnya. Namun tidak pada The Telegraph, yang mengatakan Luc Besson telah salah menilai posisi Suu Kyi dalam perjuangan Birma. Saya pikir, Besson bukan tidak menyadari kurangnya elaborasi terhadap hal-hal tersebut, melainkan ia memilih membingkai Suu Kyi dalam konteks yang lain. Konteks yang berbeda dengan mereka yang berharap akan menyaksikan sebuah episode sejarah penindasan dan perlawanan terhadapnya.

Kritik The Guardian dan keberatan saya , sesungguhnya datang dari suatu harapan. Harapan untuk melihat peran Suu Kyi dalam konteks sejarah dan politik Birma yang lebih besar. Rupanya Besson lain, alih-alih melihat Suu Kyi dalam kerangka Birma, ia pertama-tama mendudukan Suu Kyi sebagai manusia. Satu hal yang kerap kali dialfakan dalam pembacaan struktural (ekonomi, politik, dan budaya) dalam melihat film.

Eksistensi dan Demokrasi

Dapat saya bayangkan mereka yang memahami sejarah dan politik Birma tentu saja tidak akan terpuasakan dengan film besutan Besson ini. Politik dan sejarah Birma dalam film ini dijadikan latar belakang dari tumbuhnya seorang perempuan, istri, dan ibu. Dan bukan sebaliknya, perempuan yang dilahirkan politik dan sejarah Birma. Menurut saya, pilihan Besson untuk mengembangkan cerita berdasar pada hubungan Suu Kyi dan Michael Aris, merupakan konsekuensi logis dari pilihan ini. 

Gaya bertutur Besson yang menjadikan Suu Kyi sebagai kaca mata untuk melihat Birma, tentu saja berakibat pada tereduksinya beberapa aspek politik dan sejarah yang penting dari Birma. Sekaligus memberi porsi yang besar pada aspek eksistensial Suu Kyi, yang digambarkannya sebagai suatu pergulatan atas berbagai konflik identitas, yaitu istri, ibu, dan pejuang demokrasi.

Sebelum menjadi tokoh pro demokrasi dan kebebasan dalam sejarah Birma, Besson pertama-tama menggambarkan pergulatan Suu Kyi untuk memilih tujuan hidup. Hubunganya dengan anak dan suaminya digambarkan sebagai berkah sekaligus musibah. Tentu saja perjuangan akan jauh lebih mudah bila ia belum menikah dan terikat pada tanggung jawab keluarga. Disisi lain, tanpa dukungan dua orang anak dan suaminya, Suu Kyi belum tentu mampu bertahan sampai saat ini. Dilema ini digambarkan dengan baik dalam The lady, lewat suatu adegan ketika seorang pemimpin Junta menawarkan untuk mengunjungi anak dan suaminya di London, dan melanjutkan hidup yang sudah dimilikinya, dengan catatan ia tidak akan pernah kembali ke tanah airnya. Dengan berani Suu Kyi menolak tawaran itu.

Suu Kyi juga adalah manusia dan juga perempuan, tahanan rumah yang diberikan Junta padanya, lebih dari sekedar hukuman fisik namun juga psikologis. Apa yang lebih menyakitkan bagi seorang perempuan selain dipisahkan dari anak-anaknya. Lebih dari itu, Ketika Ia dipaksa memilih keluarga atau bangsanya, Suu Kyi sekaligus diajak menawar kembali eksistensinya sebagai manusia. Suu Kyi pun menangisi pilihannya dan tengelam dalam kerinduan dan kegelisahan yang teramat sangat. Ia bukanlah wanita besi, melainkan wanita dan ibu dari dua orang anak laki-laki, sekaligus juga ibu dari demokrasi Birma yang sedang dikandungnya. 

Dalam adegan lain, Suu Kyi digambarkan menawarkan suaminya untuk mengakhiri pernikahan mereka, seraya mengatakan ia akan mengerti jika itu yang diinginkan Michael Aris. Suu Kyi merasa harus adil pada suaminya, pilihan untuk berjuangan demi Birma adalah keputusannya, dan ia tidak memaksa suaminya mesti memahami itu jika tidak bersedia. Michael Aris, memilih menemani Suu Kyi dan berbagi mimpi bersamanya.

Pilihan sang suami untuk menemani perjuangan Suu Kyi merupakan pilihan yang sepenuhnya disadari, meski perjuangan milik bersama, tanggung jawab dan implikasi atas pilihan itu menjadi milik setiap Individu. Itulah mengapa bahkan ketika sakit parah, Michael Aris tidak meminta Suu Kyi untuk pulang. Begitu juga halnya Suu Kyi yang memaksa bertahan di Birma dan tidak menghadiri upacara penguburan sang suami. Suu Kyi yakin sang suami memahami pilihannya dan begitu pula sebaliknya. Dengannya, ikatan suami instri diantara keduanya, tidak saling “menenggelamkan”, sebaliknya menjadi penguat satu sama lain.

Hal ini mengingatkan saya pada Kierkegaard, yang sepanjang hayat berupaya membebasakan manusia dari “tirani publik”. Bagi filsuf asal Denmark itu, publik mengacam kemanusian. Sebab ketika kita meilhat manusia dalam kerangka publik dan atau kemasyarakatan, kita kerap kali tidak mampu menemukan manusia. Apa yang kita lihat adalah orang Birma, Politisi, pejuang demokrasi, dan banyak lainnya. Individu lenyap dalam atribut-atribut identitas.

Publik bagi Kierkegaard mengancam karena berpotensi menelan eksistensi manusia dan menampilkannya sebatas subjektivitas yang abstrak. Kierkegaard bukan sama sekali menolak kelompok dan ikatan. Hanya saja baginya, sebelum itu manusia perlu mencapai satu tahap kedewasaan tertentu. Tahap yang disebutnya sebagai tahap etis. Tahap etis, dijelaskanya sebagai tahap dimana manusia memahami pilihan-pilihannya dan tujuan yang ingin dicapainya. Dan itu pula yang rupanya jadi modus operasi kebebasan yang diusung Suu Kyi. Setidaknya itu yang dapat kita tangkap dari caranya menyikapi hubungan dengan suami dan keluarganya.

Demokrasi dimulai dari kesadaran individu-individu yang memilih untuk berkumpul demi hidup bersama yang adil dan sejahtera. Demokrasi dengannya membutuhkan otonomi individu dan kesadaran rasional. Dalam konteks ini, Negara dan bangsa ada berkat pengakuan dari atas kebawah. Tanpa individu yang kuat dan reflektif, demokrasi hanya akan berakhir menjadi seperti yang disinggung Kiayi Haji Mustofa Bisri dalam puisinya:

Inilah zaman kemajuan
ada syrup rasa jeruk dan durian
ada kripik rasa keju dan ikan
ada republik rasa kerajaan
(Mustofa Bisri, Zaman Kemajuan, 1997, dalam majalah Madina-online)

Tentu saja setiap teks tidak mungkin mampu merangkum semua. kontradiksi adalah keniscayaan menurut Derida, dan itu pula yang kita saksikan ada dalam film ini. Suu Kyi adalah pejuang demokrasi yang lahir dari episteme feodal, yang cirinya antara lain kultus Individu. Suu Kyi jelas berhutang budi pada nama besar ayahnya, Jendral Aung san.  

Memperjuangakan demokrasi ditengah masyarakat yang hidup dan menghidupinya dalam diskursus feodalisme merupakan ironi tersendiri. Bagi saya hal tersebut tidak lain bagian dari pergulatan eksistensi Suu Kyi. Sayang film garapan Besson tidak menggambarkannya lebih jauh. Film bagaimanapun adalah medium yang dibatasi “frame” dan durasi. Memintanya mengungkapkan sebanyak buku mampu mengungkapkan, rasanya tidak adil. Tidak juga film, buku, ataupun medium bahasa lainya mampu mengungkap semua. Seperti ungkap Lacan “Saya selalu bicara kebenaran, namun tidak semuanya, sebab tidak ada caranya untuk itu”.

Kita boleh saja  tidak sepakat  dengan gaya penuturan biografi seperti yang ditunjukkan Besson. Akan tetapi, bagi saya sulit menolak pesona narasinya yang sugestif. Film ini telah berhasil mengajak kita merenungkan ajakan Suu Kyi, seperti tertera dalam kalimat terakhir di penghujung film ini, “Please use your freedom to promote our”. Sepakat atau tidak, The Guardian, The Telegraph, dan juga saya, telah menyambut ajakan ini. Pun itu baru sampai tahap iman yang paling lemah, menulis dan mendiskusikannya.

Sumber Foto: http://the-lady-movie-trailer.blogspot.com/ 

No comments:

Post a Comment