Thursday, June 23, 2011

Studi Film: Sekolah Frankfurt (Marxis Perspektif)


Berkembang pesatnya industri budaya pada dasawarsa 1930an, yang ditandai oleh tumbuhnya stasiun Tv, radio, dan sinema, mengawali perhatian para ahli ilmu sosial untuk mulai mengkaji film sebagai bagian dari produk kebudayaan. Sejauh dapat ditelesuri, Walter Benjamin, Horkheimer dan Adorno, yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt, adalah yang pertama menjadikan industri budaya sebagai subjek kajiannnya. Dalam usahanya menjawab pertanyaan yang disisakan oleh Gramsci, mengenai penyebab kegagalan ramalan Marx akan revolusi ploletar, mereka yang tergabung dalam mazhab Frankfurt mengarahkan tudingannya pada industri budaya.

Dalam pandangan mazhab frankfurt industri budaya adalah alat bagi penyebaran ideologi dominan, yang tugas utamanya adalah memalingkan kesadaran kelas. Cirinya yang massal dan terstandar, telah menghilangkan otentisitas budaya itu sendiri. Dengan kata lain, industri budaya mendesakralisasikan kebudayaan. Dengan cara seperti inilah film dipandang oleh Walter Benjamin. Ia mengatakan lahirnya teknologi motion picture (film), menghilangkan apa yang disebutnya sebagai “aura” dari teater. Aura dalam pengertian Benjamin adalah “semangat hidup” (sesuatu yang luhur) yang ada pada budaya.


Pandangan Benjamin mengenai aura, diawali oleh filsafat kerja dari Hegel, yang mengatakan kerja adalah cara manusia menemukan kemanusiaannya. Hanya dengan bekerja manusia mengada bersama dunia. Dalam pengertian ini, kerja adalah sesuatu yang luhur, karena dalam bekerja manusia mencurahkan seluruh potensinya untuk menghasilkan budaya. Inilah yang dinilai Benjamin telah hilang dalam corak produksi kapitalisme yang berupa industri kebudayaann (film).

Jika dalam teater adalah semangat yang luhur, maka film justru sebaliknya. Cirinya yang massal, membuat kita tidak mungkin menemukan aura di dalamnya. Karena aura hanya mungkin ada dalam produk budaya, yang proses penciptaannya tidak mengasingkan kreator dengan apa yang diciptakannya. Disinilah titik kunci perbedaan teater dengan film menurut Benjamin. Modus kerja kapitalisme yang subtil, yang sering disebut dengan istilah fordisme, telah membuat kerja yang tadinya luhur, menjadi semata nilai tukar komoditas.

Kendati demikian, Benjamin tidak sepenuhnya melihat film dengan negatif, baginya film bisa saja menjadi sesuatu yang bermakna apabila menggambarkan realitas sosial penindasan. Nilai pada produk budaya dengan sendirinya, didasarkan pada tujuannya yang mencerahkan atau tidak. Medium film meski tidak seluhur teater, dapat saja menjadi corong bagi timbulnya kesadaran kelas, seperti yang terus-menerus diusahakan oleh para pemikir kritis.

Apa yang diungkapkan Benjamin, hanya mungkin terjadi, apabila film belum menjadi bagian dari industri. Adorno melihat tidak mungkin industri budaya memberi peluang pada lahirnya film yang “mencerahkan”. Logika industri yang kapitalistik (semata bertujuan mencari untung) akan mereduksi seni dalam bentuk apapun menjadi semata produk budaya yang dapat dijual. Logika pasar yang terstandar akan melahirkan homogenisasi, sehingga otentisitas seni hampir pasti tidak akan lahir dari industri.

Lebih dari itu, Horkheimer menilai usaha menggambarkan realitas dalam film merupakan bentuk usaha yang manipulatif. Senada dengan itu, Adorno mengatakan musik dalam film merupakan usaha mendramatisasi realitas palsu yang diciptakannya. Baik musik ataupun seni cinematografi dengan sendirinya menjadi sesuatu yang banal atau dalam bahasa Benjamin, kehilangan “aura”. Relitas palsu dalam film menurut Horkheimer dapat menjebak penontonnya dalam dunia “impian” yang semu. Apa yang dihasilkan dari proses menonton film, dengan kata lain adalah kebahagian “semu”. Apa yang digambarkannya adalah mimpi-mimpi yang tidak memiliki basis kenyataan (kondisi materialisme historis), mengabaikan realitas perjuangan kelas, yang menurut pandangan kritis sebagai satu-satunya yang dapat dkatakan sebagai kenyataan.

Tugas film dalam industri selain menghasilkan keuntungan, juga adalah menjadi katarsis bagi kenyataan yang sesungguhnya. Karena kapitalisme tidak hanya ditopang oleh strukur ekonomi melainkan juga budaya. Maka tujuan semua produk budaya, termasuk film adalah memungkinkan syarat-syarat produksi dan reproduksi kapitalisme. Sehingga buruh yang lelah bekerja, bisa kembali bekerja ke esokan harinya setelah dihibur oleh berbagai produk budaya yang dihasilkan industri. Proses inilah yang disebut dengan produk budaya (film) sebagai reproduksi syarat-syarat produksi.

Ciri kritik Mazhab Frakfurt pada film, dengan kata lain meliputi dua sisi. Pertama, meyangkut film sebagai sebuah media dan kedua film sebagai bagian dari industri. Kedua kritik tersebut haruslah ditempatkan pada usaha Mazhab Frankfurt yang ingin menyelamatkan proyek pencerahan. Sebagai bagian dari pemikir modern, mazhab ini percaya tujuan filsafat adalah memerdekakan manusia. Mereka melihat industrialisasi budaya merupakan ancaman terhadap kemerdekaan tersebut.

Pada akhirnya, usaha perlawanan pada hegemoni atau ideologi dominan, memerlukan bentuk perlawanan yang struktural. Biasanya bentuk perlawanan semacam ini dianalogikan dengan penciptaan ruang-ruang bebas dalam industri atau bagi mereka yang lebih monderat akan mengusahakan suatu bentuk kompromi antara tujuan film yang mencerahkan dan logika industri yang provit oriented. Adorno sendiri semenjak awal telah mengatakan, industri tidak mungkin menginjinkan produk budaya yang berada diluar logikanya. Pandangan pesimis Adorno, seolah-olah menyisakan satu-satunya cara untuk tetap “berbudaya” adalah dengan berada sama sekali diluar industri atau berkompromi (satu hal yang sering dianggap tercela oleh mereka yang memegang teguh pandangan klasik mengenai perlawanan).

Tekanan pandangan Mazhab Frankfurt yang masih memberi porsi yang besar pada ekonomi(industri), sering kali mengabaikan proses bagaimana ideologi dominan dicerap oleh mereka yang menerimanya. Inilah yang menjadi kritik reception studies pada pendekatan kritis yang lahir dari tradisi Marxisme.

Ketimbangan melihat industri budaya dengan cara yang fesimis, reception studies justru melihat sebaliknya, karena mereka percaya masyarakat yang mengkonsumsi produk budaya bukanlah massa yang tidak memiliki nilai dan pandangan budayanya sendiri untuk menyaring pengetahuan yang datang dari luar. Reception Studies (studi penerimaan) menunjukkan, meski dalam proses produksi budaya dikatakan tidak ada individualitas, maka pada proses konsumsi, seperti yang ditunjukan oleh hasil empirik studi penerimaan, keragaman justru dirayakan.

3 comments:

  1. film tidak terlepas dari tradisi cerita. pertanyaan pertama yang wajib diajukan adalah mengapa manusia sangat menyukai cerita dan butuh cerita? hannah arrendt menjelaskan ini adalah bagaimana kemudian dengan cerita manusia mengorganisasikan hidupnya. dengan cerita manusia bisa membedakan antara zoo (hidup dengan sekedar biologis dan bios hidup yang lebih dari sekedar biologis). dan begitulah akhirnya kesadaran 'pengorganisasian' hidup ini menjadi 'ruh' dari budaya massa untuk mengorganisasikan sesuatu atau mengorganisasikan ideologi, persis seperti yang dijelaskan oleh para filsuf frankfurt.

    bagiku, cerita tentang film dari para filsuf frankfurt ini seperti cerita samiri dengan sapi emasnya. samiri melihat dengan sangat cermat problem umat musa bukan pada kebenaran dan kuasa Tuhan. problemnya adalah praktek semacam apa yang disenangi untuk mengisi waktu-waktu yang mereka miliki. dan itu juga yang sedang dipikirkan oleh gramsci dengan culture hegemony-nya. praktek kehidupan adalah mengisi bangun tidur sampai menjelang tidur. dan mengisinya dengan 'menghibur diri' menonton film adalah salah satu pilihan, jika setelah itu ada yang dia sepakati, inspirasi itulah yang para filsuf frankfurt disebut sebagai kerja. pun sudah lama aristoteles mendeskripsikan drama sebagai pikiran dan tindakan manusia.

    drama para filsuf frankfurt ini telah menghegemoni wilayah ideal para akademisi untuk tidak berpraktek dan membuat sendiri dramanya. dan bagiku, itu drama usang tentang kuasa dan ideologi. aih .. komenku selalu panjang kel. btw, thanks tentang catatannya.

    ReplyDelete
  2. gan, ini judul bukunya apa yah ? perlu nih buat skripsi

    ReplyDelete