Wednesday, July 6, 2011

Paradoks Pendidikan: Antara kemanusiaan dan Pasar


Dalam sebuah tulisan untuk Goenawan Muhamad, “Puisi, Penyair, dan Intelektual Publik”, Ignas Kleden Mengatakan, keterbatasan mengajak kita untuk terus belajar dan belajar. Hanya dengan menyadari keterbatasan, kemanusiaan menemukan ruangnya. Seperti halnya tulisan ini, sejatinya sekolah dan kampus adalah juga ruang yang ditumbuhkan oleh kesadaran akan adanya keterbatasan. Namun seperti Descartes yang terbangun dari keraguan dengan keyakinan tak terbantahkan akan “ego”, begitu pula kampus kita hari ini, dari keterbatasannya ia terbangun dengan keyakinan (jika tidak boleh disebut arogansi) disiplin-disiplin ilmu yang kian ketat dan spesifik. Yang dengannya seolah masalah hidup yang kompleks ini dapat dijawab oleh satu sudut pandang saja.



Tentu saja kampus sebagai bagian dari institusi pendidikan tidak serta merta begitu adanya, karena pendidikan tidak pernah terlepas dari kehidupan kemasyarakatan yang ada diluarnya. Perkembangan filsafat, Ekonomi, dan bidang-bidang kehidupan sosial lainnya ikut menentukan arah pendidikan. Sebagaimana awalnya, pendidikan memang ditujukkan sebagai proses inisiasi agar manusia dapat terjun dalam masyarakat, dengan harapan memiliki kemampuan yang cukup untuk menganalisa dan menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan hidup. Pendidikan adalah proses pewarisan kebudayaan, oleh karenanya ia adalah proses pembudayaan. Dengannya pendidikan perlu meresapi kebudayaan tempat hidupnya dalam masyarakat.

Seperti yang telah umum diketahui, dunia kita saat ini adalah dunia dengan wujud pasar, sebagai bagian dari implementasi sistem ekonomi kapitalisme, yang berbasiskan modal. “Sistem pasar” memandang dunia sebagai pasar tempat segala sesuatunya ditransaksikan, tidak hanya materi, melainkan juga modal-modal simbolik seperti pendidikan dan pengetahuan.

Dalam proses transposisi idiom “modal” ke gugus-gugus lain, apa yang berlangsung bukan hanya peminjaman istilah, tetapi transportasi cara melihat, cara berpikir, cara merasakan, dan cara mendekati. Itulah mengapa nama, wajah, kecantikan, ketrampilan, dan pengetahuan, dan ciri-ciri pribadi seseorang dibahasakan sebagai “ aset” (aset)….. dari proses ini bisa segera dikenali mengapa arah dan isi pendidikan sekolah juga kian dilihat sebagai “aset” dan “modal” dalam rangka proses penciptaan surplus value ( B. Herry Priyono, Pendidikan Manusia Indonesia: 179).

Sebagain dari sebuah tata ekonomi global, pendidikan mau tidak harus mengikuti laju arus peradaban. Program Link and Match, yang pernah begitu berkembang pada masa Orde Baru dan bahkan higa kini adalah monumennya. Kampus, sekolah, dan institusi pendidikan lainnya saling bersaing untuk menjanjikan jaminan kerja pada para calon siswa yang hendak belajar. Seolah belajar hanya untuk bekerja, begitulah ketika pendidikan melupakan salah satu tugas utamanya untuk mengembangkan kemanusiaan.

Demi memenuhi nafsu modal, bidang kajian dibuat berdasarkan pembagian kerja yang ada dalam perusahaan. Spesikasi yang subtil dalam sistem kerja Kapitalisme yang sering disebut dengan Fordisme, membuat institusi-intitusi pendidikan berlomba membuat program yang spesifik dan semakin praktis, sesuai kebutuhan pasar. “ ini pula persoalan yang menjelaskan penyingkiran berbagai bidang studi yang sentral dalam “republik ilmu-ilmu”, tetapi tidak punya daya langsung atau praktis untuk kebanyakan lapangan kerja dalam tata ekonomi dewasa ini” ( B. Herry Priyono, Pendidikan Manusia Indonesia: 182).

Gejala semakin menghilangnya banyak pengetahuan yang bersifat Humaniora, seperti filsafat, sastra, fisika murni, matematika murni dan lain sebagainya, sesungguhnya amat merugikan bagi pengembangan kemampuan analitis kita. Pengetahuan – pengetahuan yang bersifat konseptualah yang mengajarkan pada kita untuk melihat persoalan melampaui sudut-sudut sempit disiplin keilmuan. Sehingga dengannya kita dapat memahami duduk perkara suatu persoalan, dimana kebijaksanaan menjadi dimungkinkan. Inilah apa yang luput dari pendidikan kita yang berorientasi pasar.

Pada kondisi seperti ini akan sangat sulit, walau bukan tidak mungkin mengaharapkan pendidikan kita, dalam artian sekolah dan kampus, dapat melahirkan intelektual publik semacam Goenawan Mohamad misalnya. Karena seperti yang dijelaskan oleh Ignas dalam tulisan untuk Goenawan Muhamad, kompetensi minimal dari seorang intelektual publik adalah mampu melampui batas-batas akademisnya, etnitasnya, dan bahkan nasionalitasnya, untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar demi kemanusiaan.

Jika saja dari sejak awal, dalam proses pendidikan kemampuan ini telah dimatikan, melalui pertanyaan-pertanyaan semacam, apa bedanya kamu dengan anak fisip? Mana komunikasinya? Rasa-rasanya kita tidak akan menemukan kebijaksanaan seorang intelektual publik, melainkan hanya seorang profesional yang berideologikan profesionalisme, “profesi dan profesionalime membuat pengetahuan mendapatkan nilai tukarnya yang ditingkatkan melalui ekspertis” (Ignas Kleden, dalam Puisi, Penyair, Dan Intelektual Publik).

Inilah adalah konsekuensi dari sistem pasar yang menjadikan persaingan menjadi tidak terhindarkan. Disiplin ketat keilmuan dewasa ini dapat juga dipandang sebagai usaha deferensiasi dalam ranah pertaruang modal. Penegasan posisi untuk membedakan diri dengan produk lain amatlah penting dalam proses Marketing. Akan tetapi pertanyaanya kemudian apakah pendidikan juga adalah produk yang memerlukan proses marketing? Dan kita akan membiarkan kemanusiaan dibatasi perkembanganya karena hanya memenuhi surplus value?

Pendidikan tentu saja bukan sekedar produk, karena ia melibatkan nilai-nilai luhur didalamnya. Semangat semacam inilah yang hilang dari tujuan pendidikan, yaitu proses memanusiakan manusia. Spesikasi bidang keilmuan yang subtil, membawa konsekuensi hilangnya berbagai hal yang mendasar dari pendidikan itu sendiri. Apa yang luput dari proses pendidikan hari ini adalah mengembangkan kepribadian yang mampu menjawab persoalan hidup, sebagai bagian dari usaha inisiasi manusia ke dalam masyarakat.

Akan tetapi hal ini bukan tidak disadari oleh sebagian akademisi, penolakan dan pemberontakan terhadap pembatasan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan, telah lama disuarakan para intelektual yang tergolong dalam studi kebudayaan (cultural studies). Mereka menolak untuk tunduk pada hanya satu disiplin keilmuan atau metode tertentu saja, bagi mereka persoalaan dunia saat ini terlampu kompleks untuk hanya didekati dengan satu pendekatan saja. Lebih jauh dari itu, mereka menolak klaim netralitas yang di usung pengetahuan-pengetahuan bercorak pasar, sebaliknya mereka justru memilih untuk berpihak, sebagai bagian dari tanggung jawab intelektualnya pada masyarakat.

Pada titik inilah, keberatan pada pendidikan berorientasi pasar yang melulu mengedepankan profesionalisme ( berpihak pada uang) mencapai puncaknya. Sebagaimana setiap intelektual haruslah juga profesional (memiliki keahlian), begitu juga seorang profesional sedikit banyak haruslah juga intelektual. Sehingga keterampilan dan moral dapat berjalan beriringan. Karena untuk mampu menggunakan apa yang dicapai oleh peradaban seperti teknologi, tidak hanya dibutuhkan keilmuan melainakan juga moralitas yang besar, yang dapat menanggung tanggujawab melampui batas profesi, keilmuan, kesukuan, dan nasionalisme.

No comments:

Post a Comment