Membaca judul tulisan ini pembaca
tentu bertanya, apa hubungan sex yang terjadi di ranjang dengan negara yang
representasinya istana negara dan presiden. Jangan terburu berpikir tulisan ini
akan bicara sex yang terjadi di istana negara atau ranjang presiden
kita,percayalah sama sekali jauh dari itu. Sexualitas dan negara memang terkesan
dua hal yang tak berhubungan namun dengan cara yang mungkin tak langsung saling
mengusung.
Hubungan “gelap” antara
sexualitas dan negara pertama kali terungkap melalui pengalaman Eropa yang
dituliskan Foucault. Dalam studinya mengenai sejarah sexualitas, Foucault
melihat kolaborasi antara kristianitas dan rezim victorian(Eropa Abad
Pertengahan), yang coba menaklukan hasrat dibawah moral dan “kepentingan
bersama” (negara). Sebelum era victorian sex bukanlah hal yang tabu. Meski
definisi sexualitas yang monogami dan pro kreasi(fungsi reproduksi) sudah
menjadi kebenaran bahkan sebelum era kristian, kontrol atasnya secara efektif
baru dilakukan di era Eropa Kristen. Ibarat gayung bersambut, nilai moral
tersebut bergandengan dengan kebutuhan akan pengaturan populasi dan distribusi
kekayaan, yang menurut Foucault merupakan fungsi dasar dari negara.
Negara berkepentingan menertibkan
sex, sehingga tidak perlu berhadapan dengan anak-anak hasil hubungan diluar
nikah, yang akan menyulitkan penataan polulasi dan pada akhirnya distribusi
kekayaan. Teknologi pengaturan yang demikian menempatkan sex sebagai fungsi
reproduksi semata, kenikmatan sexual diluar kerangka reproduksi dan institusi
yang sah(nikah) harus dihindari, karena itu adalah dosa. Demikian ketika agama
“main mata” dengan negara. Namun perlu diingat, formasi kekuasaan yang demikian
terjadi dalam ruang dan waktu. Artinya tidak pernah ada satu pola universal
yang dapat dipakai untuk menggambarkannya.
Sesuatu yang sama sekali lain
pernah terjadi di tanah air. Ketika Orde baru mengkampanyekan KB (Keluarga
Berencana), salah satu hal yang jadi faktor penghambat adalah gagasan “banyak
anak banyak rezeki”(wacana agama). Kenyataan inilah yang membuat kita harus
menunda tuduhan bahwa hubungan agama , sex, dan negara selalu sama. Satu hal
yang mungkin sama, sexualitas sebagai praktek rekreasi (bersenang-senang)
selalu dilihat sebagai patologi yang harus ditaklukan.
Eropa hari ini pun bukan Eropa diera
Victorian, setelah puluhan tahun gerakan sosial untuk kebebasan sexual, Belanda
kini misalnya mengakui pernikahan homo sexual. Melihat contoh Belanda, kita
kini tahu bahwa “Kebebasan” sekalipun butuh legalitas (negara). Pertanyaanya
bernarkah yang demikian kebebasan atau bentuk lain di kooptasinya sex oleh
negara? Lain ceritanya di tanah air. Mereka yang khawatir generasi muda
terpengaruh “sex bebas”, mendorong lahirnya undang-undang anti pornografi dan
porno aksi. Sexualitas juga perlu dikekang oleh undang-undang, demikian ide
utamanya. Dalam hal sexual, bebas atau tidak kita butuh negara.
Meski bukan dibawah panji
undang-undang pornografi dan porno aksi, Ariel “disalibkan” demi nama baik kita
semua. Sebagian orang bilang itu perlu demi moral dan kebaikan bersama,
sebagian lain mengatakan memenjarakan Ariel adalah bentuk lain kemunafikan. Karena
diam-diam sebagian dari kita menganggap meniduri lebih dari 30 orang adalah
prestasi. Hanya saja, pendapat kedua lebih minor ketimbang yang pertama (bukan
dalam kuantitas). Kalau tidak percaya lihat saja televisi dan infotaimentnya
yang mengobral “jampe” moral. Pesannya betapa Ariel dan Luna menyesal.
Kuasa itu cair, demikian adagium
Foucault yang kerap kali berdendang di telinga. Seperti halnya air yang selalu mencari
celah-celah sempit untuk terus mengalir dari apa yang menghadangnya, begitu
pula halnya sexualitas. Ketika rezim victorian di Eropa menabukan segala jenis
pembicaraan soal sex dan menekan prakteknya hanya ke dalam ruang-ruang sempit
didalam rumah (kamar), sex dan sexualitas menemukan “jalannya” dalam ruang
pengakuan dosa. Dalam studinya Foucault menemukan diskursus sexual yang
dilarang atau ditabukan menemukan pemaklumannya dalam ruang pengakuan dosa.
Sexualitas yang marjinal (sex sebagai rekreasi atau bahkan praktek homo
sexual), faktanya juga terjadi dalam keseharian dan terungkap melalui “bibir-bibir
pendosa”.
Pertanyaannya kini dimana
resistensi terhadap pengekangan sexualitas yang teradi di tanah air? Salah satu
ungkapan dalam UU Pornografi dan Porno Aksi adalah dilarangnya praktek sex (apa
yang dimaksud lebih seperti berciuman atau bercumbu) di ruang publik. Kenikmaan
sexual adalah dosa yang memalukan, karena itu ia tidak boleh muncul dalam
keramaian (publik). Ia tetap harus
menjadi kenikmatan rahasia yang tidak boleh keluar dari kamar. Dan karena sex
harus terlembaga dalam pernikahan, maka secara umum sex hanya menjadi milik
dari mereka yang telah dewasa atau telah siap menikah.
Dengan logika tersebut, jelas sudah
remaja adalah korban utama represi sexual. Rumah jelas bukan tempat yang tepat bagi remaja yang sedang
“horny”. Itulah mengapa bila diatas jam sepuluh malam berkeliling Jakarta, kita akan menemukan
motor-motor yang parkir diatas fly over.
Remaja putra dan putri yang “memadu kasih”, bersembunyi dalam gelap malam dan
sensor kuasa negara, agama, dan keluarga. Bila bagi masyarakat Eropa Era
Victorian, ruang pengakuan dosa adalah jalan keluar sexualitas, maka bagi kita
jalan adalah “jalan keluar itu”. Bagi sebagian lain yang sudah cukup dewasa dan
siap menikah namun enggan, jalan keluar itu adalah “sex after lunch”, “sex after
office”, “one night stand” dan
banyak istilah lainnya.
Pada akhirnya, dengan atau tanpa
negara sexualitas tetap terjadi. Soalnya adalah bagaimana kita memaknai
kebebasan sexual. Mereka yang mengusung sex sepenuhnya hak otonom individu
namun disaat bersamaan menuntut legalitas, sama “lucunya” dengan mereka yang
hendak menggunakan undang-undang untuk mengekang. Ketimbang terjebak diskursus
negara, Foucault menawarkan sejenis “etos penolakan kreatif”. Sexualitas
baginya adalah praktek, bukan hukum atau norma. Kebebasan dalam kerangka etika
atau hukum (Negara) adalah omong kosong. Baginya sexualitas adalah “permainan”
mencapai kenikmatan, sex hanya akan bebas selama ia terus menjadi dan menolak
segala upaya untuk menamainya (sah/tidak sah, privat/publik, hetero/homo). Ukuran sexualitas bukanlah benar atau salah, melainkan nikmat atau tidak. Singkat kata, lakukan saja tak usah banyak bicara atau hiraukan segala upaya
untuk mendefinisikan sexualitas kita, termasuk yang dilakukan tulisan ini.
No comments:
Post a Comment