Tuesday, October 16, 2012

Sexualitas dan Negara



Membaca judul tulisan ini pembaca tentu bertanya, apa hubungan sex yang terjadi di ranjang dengan negara yang representasinya istana negara dan presiden. Jangan terburu berpikir tulisan ini akan bicara sex yang terjadi di istana negara atau ranjang presiden kita,percayalah sama sekali jauh dari itu. Sexualitas dan negara memang terkesan dua hal yang tak berhubungan namun dengan cara yang mungkin tak langsung saling mengusung.

Hubungan “gelap” antara sexualitas dan negara pertama kali terungkap melalui pengalaman Eropa yang dituliskan Foucault. Dalam studinya mengenai sejarah sexualitas, Foucault melihat kolaborasi antara kristianitas dan rezim victorian(Eropa Abad Pertengahan), yang coba menaklukan hasrat dibawah moral dan “kepentingan bersama” (negara). Sebelum era victorian sex bukanlah hal yang tabu. Meski definisi sexualitas yang monogami dan pro kreasi(fungsi reproduksi) sudah menjadi kebenaran bahkan sebelum era kristian, kontrol atasnya secara efektif baru dilakukan di era Eropa Kristen. Ibarat gayung bersambut, nilai moral tersebut bergandengan dengan kebutuhan akan pengaturan populasi dan distribusi kekayaan, yang menurut Foucault merupakan fungsi dasar dari negara.


Negara berkepentingan menertibkan sex, sehingga tidak perlu berhadapan dengan anak-anak hasil hubungan diluar nikah, yang akan menyulitkan penataan polulasi dan pada akhirnya distribusi kekayaan. Teknologi pengaturan yang demikian menempatkan sex sebagai fungsi reproduksi semata, kenikmatan sexual diluar kerangka reproduksi dan institusi yang sah(nikah) harus dihindari, karena itu adalah dosa. Demikian ketika agama “main mata” dengan negara. Namun perlu diingat, formasi kekuasaan yang demikian terjadi dalam ruang dan waktu. Artinya tidak pernah ada satu pola universal yang dapat dipakai untuk menggambarkannya.

Sesuatu yang sama sekali lain pernah terjadi di tanah air. Ketika Orde baru mengkampanyekan KB (Keluarga Berencana), salah satu hal yang jadi faktor penghambat adalah gagasan “banyak anak banyak rezeki”(wacana agama). Kenyataan inilah yang membuat kita harus menunda tuduhan bahwa hubungan agama , sex, dan negara selalu sama. Satu hal yang mungkin sama, sexualitas sebagai praktek rekreasi (bersenang-senang) selalu dilihat sebagai patologi yang harus ditaklukan.

Eropa hari ini pun bukan Eropa diera Victorian, setelah puluhan tahun gerakan sosial untuk kebebasan sexual, Belanda kini misalnya mengakui pernikahan homo sexual. Melihat contoh Belanda, kita kini tahu bahwa “Kebebasan” sekalipun butuh legalitas (negara). Pertanyaanya bernarkah yang demikian kebebasan atau bentuk lain di kooptasinya sex oleh negara? Lain ceritanya di tanah air. Mereka yang khawatir generasi muda terpengaruh “sex bebas”, mendorong lahirnya undang-undang anti pornografi dan porno aksi. Sexualitas juga perlu dikekang oleh undang-undang, demikian ide utamanya. Dalam hal sexual, bebas atau tidak kita butuh negara.

Meski bukan dibawah panji undang-undang pornografi dan porno aksi, Ariel “disalibkan” demi nama baik kita semua. Sebagian orang bilang itu perlu demi moral dan kebaikan bersama, sebagian lain mengatakan memenjarakan Ariel adalah bentuk lain kemunafikan. Karena diam-diam sebagian dari kita menganggap meniduri lebih dari 30 orang adalah prestasi. Hanya saja, pendapat kedua lebih minor ketimbang yang pertama (bukan dalam kuantitas). Kalau tidak percaya lihat saja televisi dan infotaimentnya yang mengobral “jampe” moral. Pesannya betapa Ariel dan Luna menyesal. 

Kuasa itu cair, demikian adagium Foucault yang kerap kali berdendang di telinga. Seperti halnya air yang selalu mencari celah-celah sempit untuk terus mengalir dari apa yang menghadangnya, begitu pula halnya sexualitas. Ketika rezim victorian di Eropa menabukan segala jenis pembicaraan soal sex dan menekan prakteknya hanya ke dalam ruang-ruang sempit didalam rumah (kamar), sex dan sexualitas menemukan “jalannya” dalam ruang pengakuan dosa. Dalam studinya Foucault menemukan diskursus sexual yang dilarang atau ditabukan menemukan pemaklumannya dalam ruang pengakuan dosa. Sexualitas yang marjinal (sex sebagai rekreasi atau bahkan praktek homo sexual), faktanya juga terjadi dalam keseharian dan terungkap melalui “bibir-bibir pendosa”.

Pertanyaannya kini dimana resistensi terhadap pengekangan sexualitas yang teradi di tanah air? Salah satu ungkapan dalam UU Pornografi dan Porno Aksi adalah dilarangnya praktek sex (apa yang dimaksud lebih seperti berciuman atau bercumbu) di ruang publik. Kenikmaan sexual adalah dosa yang memalukan, karena itu ia tidak boleh muncul dalam keramaian (publik).  Ia tetap harus menjadi kenikmatan rahasia yang tidak boleh keluar dari kamar. Dan karena sex harus terlembaga dalam pernikahan, maka secara umum sex hanya menjadi milik dari mereka yang telah dewasa atau telah siap menikah.

Dengan logika tersebut, jelas sudah remaja adalah korban utama represi sexual. Rumah jelas bukan  tempat yang tepat bagi remaja yang sedang “horny”. Itulah mengapa bila diatas jam sepuluh malam  berkeliling Jakarta, kita akan menemukan motor-motor yang parkir diatas fly over. Remaja putra dan putri yang “memadu kasih”, bersembunyi dalam gelap malam dan sensor kuasa negara, agama, dan keluarga. Bila bagi masyarakat Eropa Era Victorian, ruang pengakuan dosa adalah jalan keluar sexualitas, maka bagi kita jalan adalah “jalan keluar itu”. Bagi sebagian lain yang sudah cukup dewasa dan siap menikah namun enggan, jalan keluar itu adalah “sex after lunch”, “sex after office”, “one night stand” dan banyak istilah lainnya.

Pada akhirnya, dengan atau tanpa negara sexualitas tetap terjadi. Soalnya adalah bagaimana kita memaknai kebebasan sexual. Mereka yang mengusung sex sepenuhnya hak otonom individu namun disaat bersamaan menuntut legalitas, sama “lucunya” dengan mereka yang hendak menggunakan undang-undang untuk mengekang. Ketimbang terjebak diskursus negara, Foucault menawarkan sejenis “etos penolakan kreatif”. Sexualitas baginya adalah praktek, bukan hukum atau norma. Kebebasan dalam kerangka etika atau hukum (Negara) adalah omong kosong. Baginya sexualitas adalah “permainan” mencapai kenikmatan, sex hanya akan bebas selama ia terus menjadi dan menolak segala upaya untuk menamainya (sah/tidak sah, privat/publik, hetero/homo). Ukuran sexualitas bukanlah benar atau salah, melainkan nikmat atau tidak. Singkat kata, lakukan saja tak usah banyak bicara atau hiraukan segala upaya untuk mendefinisikan sexualitas kita, termasuk yang dilakukan tulisan ini. 




No comments:

Post a Comment