Friday, June 10, 2011

Teori Wacana Foucault: Tidak Ada Sesuatu Apapun Didalam Ataupun Diluar Wacana

Pandangan mengenai wacana tentu saja merupakan konsep kunci dalam analisis wacana Foucault. Hal ini mendasari berbagai praktek selanjutnya dalam menyikapi teks atau bahasa. Perlu dipahami, dibanding pemikir lainnya, pandangan Foucault dalam melihat bahasa amatlah unik. Bahkan dalam kuliah di colledge the france, Foucault menolak menyebut teks sebagai bahasa, ia bersikukuh menyebut praktek yang umum disebut sebagai bahasa dengan istilah diskursus atau wacana. Penulis duga ini dilakukannya untuk menolak kuasa yang ada dalam kata “bahasa”.

Kata “bahasa” sebagaimana yang lazim dipahami adalah istrumen representasi realitas. Sehingga dengan sendirinya kita terbiasa memisahkan realitas dengan bahasa. Bahkan tanpa sadar ketika kita bertanya mengenai kata apa yang paling tepat untuk menujuk sebuah benda? kita sedang mempraktekkan rezim bahasa representasi. Usaha menamai tidak lain adalah usaha menguasai.

Rezim bahasa yang dominan memaksa kita menempatkan bahasa hanya semata kata atau lambang, padahal usaha mendefinisikan bahasa sebagai yang demikian, juga adalah praktek berbahasa. Kita dipaksa memisahkan realitas dengan bahasa, padahal usaha itu dilakukan lewat bahasa. Realitas adalah konsepsi bahasa yang dengan berbahasa dikatakan sebagai bukan bagian dari bahasa, aneh memang.

Alhasil, sama halnya dengan Heideger dan Gadamer, Foucault menyakini sejauh dapat dipahami ada adalah bahasa. Tidak ada sesuatu apapun diluar bahasa, kalaupun ada kita tidak mungkin mengetahuinya. Mengikuti Pyrho, Foucault mengatakan “kita tidak tahu apapun, termasuk fakta bahwa kita tidak tahu”. Sehingga ungkapan yang mengatakan tidak semua realitas dapat digambarkan oleh bahasa menjadi tidak dapat dipertahankan.

Mengetahui kondisi ketidaktahuan adalah hal yang muskil, selama itu dapat dibahasakan, maka itu adalah pengetahuan. Misalnya, ketika kita mengatakan “Tuhan tidak dapat dibahasakan”,bukankah itu aneh. Kalimat yang mengatakan Tuhan tidak bisa dibahasakan merupakan bentuk bahasa dan berarti kita tahu bahwa Tuhan tidak bisa dibahasakan. Dan sialnya pengetahuan itu ada dalam bahasa, terungkap lewat sebuah kalimat.

Mudah-mudahan tiga paragraf singkat diatas dapat mengantarkan kita pada aturan pertama dalam wacana, yang dalam Aforismenya disebut Foucault sebagai “no outside”. Jika prinsip pertama memposisika Foucault sama dengan Heideger dan Gadamer, maka prinsip kedua yang mengatakan “no Inside”, menjadikan Foucault oposisi terhadap keduanya. Foucault percaya bukan hanya tidak ada sesuatu diluar wacana, begitu pula didalamnya, inilah yang membuat wacana dalam pandangan Foucault menjadi unik.

Foucault mengatakan “Think is not special”, pertanyaannya mengapa? Ketimbang melihat diskursus sebagai makna, Foucault memahaminya lebih sebagai rezim-rezim aturan. Kita tentu telah lama mengenal istilah “positioning”, yang merupakan bagian dari diskursus komunikasi. kata tersebut telah lama diajarkan pada kita sebagai cara melihat “realitas”. Ketika kita mengintrepertasikan kondisi pasar dengan STP (segmentasi, target, positioning), sesungguhnya kita tidak sedang berpikir, melainkan menjalankan aturan rezim wacan tersebut, dalam hal ini komunikasi(khusus hal ini, isi seluruh buku Radford mempersoalkannya). Ini sama halnya ketika menghitung, 1+1=2, yang kita lakukan bukanlah berpikir melainkan melanjutkan suatu pola tertentu(episteme).

Praktek yang sama juga terjadi dalam diskursus medis, arsitektur, ekonomi dan banyak lainnya. Sehingga bagi Foucault bahasa adalah diskursif praktik. Lalu jika intrepertasi bukanlah berpikir, apa yang bisa dikatakan sebagai tindak berpikir? Berpikir adalah soal mempertanyakan, alih-alih melihat pasar dengan STP, kita diajak untuk mempertanyakan mengapa harus melihat pasar dengan STP? Karenanya sejarah menjadi konsekuensi logis dari metode wacana Foucault.

Hanya dengan melihat sejarah kita mampu memahami logika diskursus yang bekerja dalam hidup kita hari ini. Meskipun demikian, semenjak awal Foucault telah mengingatkan sejarah yang dimaksudnya.Sejarah akan percuma saja jika tetap didekati oleh intrepertasi atau pendekatan teoritis tertentu, karenanya prinsip “suspending second other jugment” menjadi penting dalam melihat sejarah.

Singkat cerita,Wacana dan atau kuasa dalam pandangan Foucault bersifat produktif, menghasilkan serangkaian pengetahuan yang menggerakkan hidup manusia. Diskursus medis melahirkan cara hidup sehat dalam masyarakat, diskurus matematika menggerakan perdagangan dan industri, diskursus pendidikan menghasilkan sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Akan tetapi jangan terburu-buru memaknai diskursus sebagai landasan dari setiap praktik kehidupan. Kita perlu untuk hati-hati mendekati pengertian wacana dalam pandangan Foucault.

Filsafat Foucault menghindari determinisme bahasa, baginya tidak melulu bahasa menghasilkan praktik, hal yang sebaliknya juga terjadi. Misalnya, penelitian Foucault mengenai sexualitas menunjukkan bahwasannya praktek onani yang dilakukan seorang petani di Perancislah yang pertama kali memasukan sexualitas dalam lingkup diskursus medis.

Konsep kuasa merupakan cara Foucault untuk mengatasi determinasi bahasa dalam metodenya. Sayable (apa yang dapat dikatakan) dan Visible (apa yang dapat dilihat) selalu bersitegang, produk dari keduanya adalah kuasa/pengetahuan. Sehingga yang terpenting dari episteme adalah pengetahuan apa yang dibawanya dan pengetahuan apa yang ditolaknya, dalam usahanya membentuk subjek (teknologi diri).

No comments:

Post a Comment