Saturday, June 11, 2011

Sejarah Hari Ini (History of Present)


Pembaca yang terhormat tentu berpikir kenapa kalimat yang menjadi tema tulisan ini tampak kontradiktif. Apa yang pembaca pikirkan memang betul adanya, dan memang persis itulah pandangan Foucault terhadap sejarah. Ia melihat sejarah yang dipraktekkan hari ini tidaklah logis atau mungkin logis bukan kata yang tepat, karena logika juga adalah bagian yang digugat oleh Foucault. Baiklah, untuk memulai membedah pandangan Foucault mengenai sejarah, penulis rasa tidak ada yang lebih baik daripada memulainya dengan kritik terhadap praktek penulisan sejarah yang umum dilakukan.

Sejarah yang ditulis hari ini adalah model sejarah yang linier, dimana waktu diandaikan bergerak dan jaman terus mengalami kemajuan atau modernisasi. Sehingga apa yang kita tinggalkan dibelakang kita adalah masa lalu atau jaman kuno. Sejarah mengenalkan pada kita masa lalu, hari ini, dan masa depan. Sejarah adalah proyek penulisan masa lalu, karenanya apa yang dihasilkan adalah rekonstruksi cara hidup manusia di masa lalu yang didasarkan pada fakta-fakta yang tertulis di manuskrip kuno. Lalu apa yang menghubungkan kita dengan masa lalu, sehingga kita dapat dikatakan merupakan bagian darinya?jawabnya tidak lain adalah prinsip kausalitas.

Sebagaimana mendung pertanda akan hujan, begitu juga halnya pangeran Diponegoro berperang untuk kemerdekaan Indonesia, karenanya sekarang ia kita anggap sebagai pahlawan. Inilah yang dimaksud dengan prinsip kausalitas. Mendung dan perang adalah penyebab akan peristiwa yang lainnya. Namun bernarkah sejarah bercerita demikian? Foucault mengatakan tidak. Baginya penulisan sejarah yang demikian mengandung “racun”. Prinsip kausalitas memaksakan sejarah menjadi masa lalu padahal sejarah yang ditulis adalah sejarah hari ini.

Pangeran Diponegoro tidak pernah mengenal Indonesia ketika ia melawan Belanda, apa yang dipersoalkannya adalah tanah pekuburan leluhur yang digusur untuk dibuat jalan. Para Sarjana Sejarah kita rupanya telah menulis sejarah dengan kerangka pandang hari ini, kerangka sejarah negara. Sehingga dengan mudah kita dapat mengatakan telah dijajah selama 350 tahun. Padahal kita baru bisa menyebut diri sebagai “kita” (lahirnya konsep kebangsaan) awal abad ke 19, pasca pendidikan modern pada periode etis melahirkan intelektual pribumu, dan ditandai oleh munculnya tulisan Tan Malaka “Naar de republik”. Dengan kata lain sejarah telah dipaksa tunduk dengan prinsip kausalitas yang sama sekali tidak menyejarah.

Sebagai alternatif terhadap sejarah yang otoriter, Foucault mengenalkan Arkeologi. Arkeologi memiliki dua prinsip yang menjadi ruhnya. Pertama adalah prinsip “kontigensi” lawan dari cara berpikir kausalitas dan yang kedua adalah “suspending second order Jugment” . Pertama kita akan memulai dengan kontigensi. Kontigensi menolak prinsip kausalitas karena telah mengabaikan adanya kebetulan dan kemungkinan ketiga. Jika dalah prinsip kausalitas mendung menandakan akan hujan. Maka cara berpikir kontigen akan mengatakan terjadinya hujan tidak melulu ada hubungannnya dengan mendung ataupun penguapan air laut. Dengan kata lain, ada banyak daya/kuasa atau dalam bahasa sejarah modern disebut dengan “cause” yang menyebabkan suatu peristiwa.

Dalam praktek penulisan sejarah kita dapat mengambil contoh peristiwa proklamasi. Sejarah yang telah umum kita ketahui mengatakan proses proklamasi diawai dengan kabar kalahnya Jepang oleh Sekutu. Ini adalah bentuk narasi besar yang menghegemoni sejarah kita. Padahal seperti yang ditulis Mrazek proklamasi disebakan oleh seorang lover koran yang berhasil mengantar koran pada Soekarno, dikala semua koran dilarang beredar. Contoh lain, kemerdekaan timtim mungkin saja diakibatkan oleh kata integrasi yang disalahpami, bukan karena campur tangan Amerika dan Austarlia ataupun karena rakyat tidak menghendaki demikian.

Cara berpikir kontigensi akan memberi kita banyak kejutan dalam melihat sejarah, dengan begini sejarah akan terus menemui kebaruan. Persis seperti yang dikatakan Foucault, tugas Arkeologi bukanlah untuk memfixkan sejarah, melainkan untuk terus menerus mempersoalkannya. “ to use it, to deform it, to make it groan and protes” (Foucault, dalam Kendal & Wickham,1999 : 1).

Pada tingkat yang paling radikal berpikir arkeologis atau kontigen berarti juga menolak kategori masa lalu dan hari ini. Karenanya aforisme “sejarah hari ini” juga dipakai untuk menunjuk pendekatan Foucault terhadap sejarah. Masa lalu dan masa sekarang tidaklah hierarkis seperti dalam prinsip kasusalitas melainkan berdampingan.

"Foucaltian are not seeking to find out how the present has emerge from the past. Rather, the point is use history as way to diagnosing the present”(Kendall&Wickham, 1999: 1).

Dalam pengertian ini tiap jaman memiliki episteme yang berbeda, dan tidaklah adil bila kita menilai masa lalu dengan epistem yang berlaku sekarang. Arkeologi karenanya menolak logika progres (modern-positivis) dan regres (modern-Marxis) dalam penulisan sejarah. Seperti yang dikatakan Foucault “history not going anywhere”.

Pandangan ini seriring sejalan dengan prinsip kedua dari arkeologi, yaitu “suspending second order jugment”, yaitu penundaan pendapat atau penilaian. Sering kali kita mendekatai sejarah dengan pendekatan teoritis tertentu, seperti yang dilakukan para Marxis misalnya. Sejarah selalu dilihat sebagai dialektika kelas. Artinya sejarah tidak dibiarkan datang dengan “telanjang”, sejarah telah dibungkus rapat dengan asumsi teoritis yang telah ada sebelumnya. Pendekatan sejarah yang demikian akan mereduksi sejarah dan mengkhianati kompleksitasnya. Dalam pendekatannya, Foucault menyaratkan mereka yang menggunakan arkeologinya untuk menahan diri dari praduga atau asumsi yang sifatnya aprori (sebelum pengalaman).

Dengan sendirinya membaca sejarah bersama Foucault berarti juga bersikap skeptis terhadap segala jenis argumen politis yang ada didalamnya. Skeptis bukan berati sinis, skeptis adalah sikap hati-hati dalam mengambil kesimpulan. Hanya dengan begitu kita dapat mengambil manfaat dari sejarah.

No comments:

Post a Comment