Saturday, May 28, 2011

Studi Kasus : Representasi Sexulitas Perempuan dalam Majalah Cita Cinta

"Sekali waktu, pasti pernah, deh, kita berpikir tentang hal-hal ‘nakal’. Jika selama ini kita buru-buru menyensor pikiran tersebut,sesekali biarkan berkembang. Biar nggak terlalu merasa bersalah, hehehe,alihkan pikiran ‘nakal’ kita pada pasangan. Misalnya, nih, membayangkan kita dan si dia berenang di pantai tanpa sehelai benang pun atau si dia memberikan seks oral di bawah meja kerja. .. Pasti,deh, dalam waktu singkat kita ingin mengajak si dia melampiaskan hasrat bercinta, he he he."(http://www.citacinta.com/Cerdas/seks.kesehatan)


Paragraf diatas merupakan salah satu dari tips meningkatkan gairah sexual dalam rubrik sex dan kesehatan di majalah cita cinta. Kalimat yang terhitung vulgar diatas tentu mengingatkan kita pada betapa bebasnya perempuan berbicara mengenai tubuh dan sexualitasnya di era modern. Penggunaan istilah pasangan juga tampak merupakan bentuk emansipasi atas lokalisasi sexualitas dalam budaya patrialki, yang hanya mengizinkan sexualitas dalam lingkup pernikahan.

Hanya saja apabila kita perhatikan secara seksama, kebebasan itu hilang begitu kalimat seperti ini muncul, “Biar nggak terlalu merasa bersalah, hehehe, alihkan pikiran ‘nakal’ kita pada pasangan”. Imajinasi sexual yang tadinya seperti diberi kebebasan kemudian direpresi oleh norma budaya patrialki. Imajinasi sexual bagi perempuan haruslah diikuti oleh bayangan mengenai hubungan heterosexual dengan laki-laki. Dengan kata lain, sex hanya sah bagi wanita dalam konteks melayani kelaki-lakian.


Belum lagi apabila kita perhatikan keseluruhan konteks dari tips terebut yang bermaksud meningkatkan gairah sexual perempuan demi mempertahankan keharmonisan hubungan. Pada titik ini perempuan dibuat “merasa perlu” untuk melihat hubungan dengan cara yang maskulin. Dimana hubungan didefinisikan sebagai cara pemuasan kebutuhan sexual, dan apabila itu hilang maka bersamanya hilang pula suatu hubungan. Alih-alih sebagai bentuk pembebasan apa yang direpresentasikan dalam paragraf diatas adalah bentuk lain sub ordinasi perempuan.

Dalam paragraf yang lain ideologi mengenai hubungan tampak lebih jelas,

"Dulu pasangan paling nggak tahan melihat kita tanpa busana. Pasti si dia langsung melancarkan berbagai rayuan untuk mengajak kita bercinta. Akhir-akhir ini, meski kita tujuh kali bolak-balik di depannya dalam keadaan naked, si dia diam saja .Jangan buru-buru berprasangka si dia nggak cinta kita lagi, deh. Hal ini wajar, kok. Dulu, disuguhi pemandangan sensual sedikit saja, si dia nggak tahan nafsunya. Namun dengan berjalannya waktu, si dia makin terbiasa tubuh kita. Kita kudu naik kelas dalam menggoda si dia. Belai si dia, bisikkan kata-kata nakal dan beri sentuhan menggoda pada adik kecilnya. Si dia pasti nggak tahan...."(http://www.citacinta.com/Cerdas/seks.kesehatan)



Paragraf ini meneguhkan klaim yang menyatakan cinta ada dalam hubungan sex. Tanpa hubungan sex seolah tidak ada cinta. Penekanan hubungan yang berporos pada tubuh membuka jalan pada masuknya logika industri. Dengan sendirinya, perawatan tubuh menjadi satu hal yang tidak dapat dihindari bagi mereka yang mencintai. Tanpa tubuh yang ideal (tinggi, putih, dan slim) maka akan sulit menemukan cinta yang diharapkan. Teks ini semakin membenarkan kebutuhan wanita akan berbagai produk kecantikan yang berguna untuk menunda penuan, memutihkan kulit, dan banyak lainnya.

Tidak hanya itu, seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hubungan sex , maka dibutuhkan semakin banyak pula produk yang menunjangnya. Jika dulu berhubungan sex dikamar saja sudah cukup, maka ketika sex dikamar mulai membosankan, maka sesekali perlu mencoba vila ataupun resort di tempat liburan. Sehingga pemuasaan kebutuhan akan hubungan sexual yang diefinisikan sebagai “cinta”, seiring sejalan dengan pemenuhan kebutuhan akan produk-produk industri kecantikan, dengan cara itulah industri dapat terus berjalan. Senada dengan itu semua, kalimat dibawah ini kembali memperlihatkan kolusi patrialki dengan industri.


"Aura seksi akan terpancar dari dalam. Jika kita merasa seksi, orang lain pun mendapat kesan serupa. Makanya, meski tak terlihat, boleh saja kalau kita ingin memakai lingerie keren di balik baju kantor atau baju batik. Lingerie tersebut akan membuat kita merasa seksi. Saat ketemu cowok keren, dalam hati kita bisa bilang kalau si dia bakal suka jika melihat 'harta karun' kita ini. Buat yang sudah berpasangan, bisa dijadikan alat menggoda si dia sepulang kerja, tuh!"(http://www.citacinta.com/Cerdas/seks.kesehatan)


Analogi harta karun dalam kalimat tersebut mengingatkan kita pada berbagai cerita kuno mengenai para pemburu harta karun. Menemukan harta karun berarti menemukan sumber penikmatan. Namun mendapatkan harta karun bukanlah hal yang mudah, lebih sebagai proses penaklukan. Dengan kata lain, bahasa yang digunakan oleh teks diatas seolah memaksa wanita mengakui posisinya sebagai objek seksual daripada subjek. Dengan menggunakan Lingerie perempuan merasa lebih layak untuk ditaklukan. Dengan cerdas oleh teks tersebut disampaikan dengan bahasa yang seolah perempuan adalah subjek yang mempergunakan daya tariknya, tergambar dalam kata “alat menggoda” dan “merasa seksi” (percaya diri).

Preposisi yang dibangun oleh kalimat demi kalimat yang terdapat dalam paragraf diatas, seolah ingin mengatakan “ya aku (perempuan) memang objek sexual dan aku bangga akan hal itu”. Inilah yang sesungguhnya di populerkan oleh majalah wanita sebagai kebebasan perempuan. Perempuan memang dibebaskan dari belenggu agama dan norma dalam hal berbicara mengenai tubuh dan sexualitas mereka. Namun tidak dalam hal sub ordinasi mereka dihadapan laki-laki. Seolah semua hal yang dilakukan oleh perempuan, termasuk memakai kosmetik, baju yang mewah, dan bahkan lingerie merupakan usaha untuk mendapatkan pasangan atau mempertahankan pasangannnya.

Pada akhirnya Teks ini menunjukkan pada kita bagaimana komodifikasi terjadi. Lingerie didefinisikan sebagai sama dengan kepercayaan diri. Logika industri seolah memberi kepercayaan diri pada inferioritas sexualitas perempuan dengan produk-produk yang dijualnya. Dari sini kita dapat melihat jalin-menjalin logika industri dan patrialki, merupakan satu hal yang logis. Kebebasan perempuan dalam media, dengan kata lain, tidak lebih dari kebebasan untuk memilih produk kecantikan yang dibutuhkannya untuk memenuhi atribut identitas yang semu.

Untuk memberikan kekuatan yang sifatnya otoritatif, Keseluruhan logika ini dibalut oleh rubrik yang dinamakan sex dan kesehatan. Seolah inilah adalah cara pandang sex yang sehat, diluarnya adalah penyimpangan atau patologis. Kata “sehat” merupakan tanda dari teks yang meminjam otoritas medis untuk “memaksakan” pandangannya pada pembaca.

No comments:

Post a Comment