Tuesday, June 21, 2011

Diskursus TKI: Merekam Jejak Relasi Kuasa kawula – Gusti dalam Pemberitaan TKI


Peristiwa hukuman mati yang dialami oleh tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi (Ruyati), sekali lagi mengetengahka persoalan buruh migran, yang hingga kini belum juga berakhir. Ruyati, hanyalah satu nama saja, dari sederetan nama yang pernah diberitakan mengalami kekerasaan.

Berbagai pemberitaan di media massa selama ini, sering kali memposisikan tki sebagai korban dari ketidakadilan hukum, tanpa pernah menanyakan mengapa demikian?dan mengapa hal tersebut hanya terjadi pada mereka yang bekerja di sektor informal? Persoalan inilah yang belum banyak diketengahkan dalam melihat persoalan buruh migran.

Tanpa mengesampingkan perlunya berbagai upaya hukum dalam penuntasan kasus buruh migran. Tulisan ini mencoba mengetengakan perspektif lain dalam melihat persoalan TKI. Tulisan ini berangkat dari pra duga bahwa sikap rekatif yang selama ini dilakukan pemerintah dalam menangani persoalan TKI, dan minimnya perlindunngan hukum ataupun usaha atasnya, dilatarbelakangi oleh persoalaan paradigmatik dalam memandang kekuasaan.


Seperti yang diungkapkan Foucault, Fenomena kekuasaan bukan fenomena yang ekslusif terjadi di gedung-gedung pemerintahan. Kekuasaan juga hadir dalam obrolan sehari-hari antara ayah dengan anak, antara sahabat diwarung kopi, ataupun dapat ditemui melalui artikel surat kabar, seperti yang tampak dibawah ini:

Belum lagi dampak lainnya yang memalukan, seperti soal harkat dan martabat bangsa Indonesia benar-benar telah dipermalukan karena telah memasok kuli ke negara orang(SuaraMerdeka.com).

Artikel yang berjudul “Duka Pahlawan Devisa” ini, dimaksudkan sebagai kritik terhadap pemerintah atas pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Kendati demikian, paragraf diatas tidak hanya menyampaikan kritik, namun juga mengoperasikan suatu aturan “episteme” tertentu. Kalimat yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia telah dipermalukan karena mengirim kuli, mengingatkan kita pada terminologi tradisional untuk menyebut pekerja rendahan. Istilah tersebut lebih banyak memuat beban pengabdian ketimbang kerja dalam pengertian modernitas yang didasarkan pada kontrak kerja.

Dari sini kita menangkap semangat prebendalisme di era modern. Meskipun status sosial tidak lagi ditentukan oleh darah sebagaimana masa lampu, namun hal ini tidak hilang, melainkan bergeser. Pergeseran itu tampak dari bagaimana posisi TKI yang bekerja di sektor informal, diposisikan sebagai “kawula”, hanya saja berbeda dengan masa lampau yang jadi penentunya relasi kawula gusti adalah kemampuan ekonomi dan status sosial(pekerjaan dan jabatan) dan pendidikan.

Masih dalam kalimat yang sama, penulis kembali menegaskan bahwa mengirim TKI merupakan perbuatan yang memalukan. Apa yang begitu memalukan dengan menajdi TKI? Jalinan logika dalam teks tersebut mengingatkan kita akan relasi penghambaan. Bangsa Indonesia mesti malu, karena warga negaranya menjadi “hamba” di negeri orang lain, atau mengabdi pada “gusti” di negeri tetangga.Dengan kata lain, meski merupakan kritik, teks tersebut jadi bagian yang juga mengoperasikan logika kekuasaan yang didasarkan pada hubungan kawula- gusti. Kalimat dibawah ini kembali meneguhkan pernyataan pertama.

Pemerintah memberikan kemudahan bagi biro-biro tenaga kerja dan bagi mereka yang ingin menjadi TKI, bukannya mempersulit karena bagaimana pun jika mau jujur, memasok TKI ke negara orang sangat memalukan(Suara Merdeka.com).
Operasi kekuasaan yang semacam ini tidak hanya tumbuh subur di dalam teks-teks yang dilahirkan oleh pers saja. Namun juga, datang dari ungkapan langsung para pejabat Negara, yang sekali lagi menunjukkan pada kita, residu dari espiteme lama. Salah satunya ungkapan ketua DPR (dewan perwakilan rakyat) yang juga politisi partai demokrat, marzuki Ali. Dalam satu seminar yang menjadikannya pembicara, Marzuki mengungkapkan bahwa, "PRT TKW itu membuat citra Indonesia buruk,"(detiknews.com).

Ungkapan ini muncul setelah marzuki menjelaskan berbagai kasus yang menimpa TKW. Tanpa lebih dulu melihat konteks persoalan secara lebih mendalam, ia menuduh TKW yang pulang ke tanah air dalam keadaan hamil, telah mencoreng nama baik bangsa dan Negara. Dalam hal ini kita melihat, bahkan seorang pejabat Negara yang kekuasaannya dilandasi oleh hukum, tidak sama sekali melihat konteks persoalan TKI melalui kaca mata hukum. Ini menandakan satu lagi dari residu relasi kawula-gusti, yaitu Negara sebagai keluarga.

Seolah TKI adalah anak haram yang tidak diinginkan, dalam hal ini, sadar atau tidak kita telah melihat bangsa sebagai satu kesatuan harmoni yang utuh. Dalam suatu gambaran besar, Dimana Negara adalah ayah (pejabat) dan rakyat adalah anak (kawula yang tidak tahu benar salah).

Kebijaksanaan moral pra modern, memberi orang tua hak mendapatkan penghormatan yang tertinggi, dan anak-anak harus ngabekti, berbakti dan melayani mereka sebagai sebuah tindakan yang juga terbilang ibadah. Menghargai superioritas moral mereka juga berarti menghargai hidup, lebih jauh lagi menghargai mereka yang lebih tinggi sering kali disejajarkan dengan mengagungkan Tuhan. Praktek ideologi kawula-gusti di era modern tentu saja tidak lagi sepenuhnya sama dengan masa dimana ideologi tersebut jadi “kebenaran”, karenanya dikatakan sebagai residu atau endapan. Apa yang kini masih bertahan dari pandangan tersebut adalah konsep hierarkis tatanan, dimana kebenaran sebuah pernyataan dikonfirmasi dari siapa yang mengatakan(Jabatan dan status sosial).

Negara sebagai keluarga, adalah Ideologi yang dikembangkan semasa orde baru oleh Suharto. sehingga tidak mengherankan bila buku kewarganegaraan kita semasa orde baru, disebut dengan pendidikan moral pancasila. karena lebih banyak memuat soal moral ketimbang hak dan kewajiban warga di mata hukum.

Dalam pernyataannnya, Marzuki tengah mengoperasikan pandangan demikian. Sebagai pejabat Negara, Marzuki tidak lagi melihat hubungannnya dengan TKI sebagai hubungan yang dilandasi hukum, melainkan sebagai “ayah” yang telah dipermalukan oleh “anak” atau bawahannya nya.Dalam teks yang lain,sekali lagi Marzuki Ali, meneguhkan.

"Ada yang pura-pura gila. Ada yang menggoda anak majikan karena ingin punya anak yang hidungnya mancung. Lalu ketika sudah lahir dan ingin pulang ke Indonesia karena anaknya tidak punya dokumen"(detiknews.com.
Aturan wacana inilah yang kelihatan menonjol dalam berbagai teks pemberitaan menyoal TKI. Subjek TKI sering kali ditempatkan dalam posisi sebagai warga Negara kelas dua. Bahkan terkadangan dianggap sebagai sesuatu yang dapat dimiliki oleh majikannya. Hal ini tercermin dalam kalimat Marzuki yang lain.
"Ada yang tidak bisa membedakan cairan setrika. Akhirnya menggosok baju seenaknya. Makanya majikannya marah. Wajar saja itu setrika menempel di tubuh pembantu”(detiknews.com).

Pemakluman penggunaan setrika panas atas kesalahan yang dilakukan TKI, sekali lagi memberi kita gambaran yang mengerikan mengenai bagaimana subjek TKI dimaknai. Pada titik ini, bahkan bisa dikatakan aturan wacana yang berlaku tidak menempatkan mereka sebagai subjek yang merdeka. Seolah TKI adalah komoditas yang dapat di perjual belikan, seperti halnya sebuah barang, maka terserah pada pemilik akan dirawat atau dirusak.

Dehumanisasi subjek TKI, tidak hanya terjadi di benak mereka yang duduk sebagai pejabat Negara atupun masyarakat kebanyakan. Operasi kekuasaan yang berlandaskan hubungan kawula- gusti juga bekerja pada TKI kita. Seperti yang diungkapkan oleh Foucault, ciri kekuasaan tidaklah memaksa melainkan datang sebagai bentuk regulasi dan normalisasi.Kenyataan ini dapat kita temui dalam banyak teks, salah satunya adalah teks dibawah ini.

"Kakak (Hasin) saya, sejak 2006 dipenjara. Dan hingga saat ini pemerintah tidak bergerak sama sekali. Kami butuh bantuan hukum… Anehnya lagi, keduanya bisa bebas asal membayar uang tebusan yang diminta majikannya sebesar Rp 250 juta. Dapat uang dari mana kami. Kami cuma orang kecil yang tidak punya apa-apa” (Liputan6.com).
Ungkapan orang kecil (wong cilik), mereproduksi posisi mereka (TKI) sebagai subjek lemah(kawula). Dalam hal ini, tidak hanya berarti lemah dalam bidang ekonomi, melainkan juga sebagai orang yang ditakdirkan untuk hidup sebagai manusia kelas dua, yang tugasnya mengabdi pada kelas yang ada di atasnya. Dengan kata lain, aturan wacana yang mendehumanisasi subjek TKI juga ikut direproduksi oleh TKI itu sendiri, dengan cara menyakininya sebagai kebenaran Takdir. Inilah yang disebut oleh Foucault sebagai normalisasi dan regulasi diri.

No comments:

Post a Comment