Satu hal yang patut disyukuri
pasca-kampanye Pemilu presiden lalu adalah literasi media. Pertarungan dua
poros politik yang melibatkan peran media secara tidak langsung mengajak publik
memahami bahwa media bukanlah produsen informasi yang bebas nilai.
Kita tentu ingat bagaimana berita
TV One yang membingkai PDIP sebagai partai komunis dan kader-kadernya sebagai
keturunan PKI. Meski tak sekasar TV One, pemberitaan Metro TV juga bukan tanpa
masalah. Mulai dari persoalan pelanggaran Hak Azasi Manusia hingga kasus
penyalahgunaan lambang negara (logo kampanye koalisi merah putih) jadi
informasi yang terus dilekatkan pada calon presiden nomor urut satu, Prabowo
Subianto.
Akibat keberpihakan yang
telanjang tersebut, publik menyadari bahwa informasi televisi bias. Kesadaran
ini mencuat antara lain lewat berbagai perdebatan publik di media sosial.
Masing-masing pendukung kubu capres/cawapres saling kritik mengenai sumber
informasi yang diusung lawan politik. Sayangnya, publik baru menyadari agenda setting dan sikap politik
redaksi. Kebanyakan dari publik tidak mampu membedakan sikap dengan hasil kerja
redaksi. Publik kerap melihat media semata sebagai produk kerja politik,
sehingga gagal melihat hasil kerja jurnalistik dengan jernih.
Terdapat perbedaan yang mendasar
antara pembingkaian berita dan informasi sesat. Sebuah berita bisa saja
berpihak, namun tetap dikerjakan berdasar kaidah jurnalistik, sehingga tetap merupakan
sebuah fakta. Bingkai dalam pemberitaan adalah pemilahan dan penonjolan fakta
tertentu. Misal, berita berjudul “Prabowo-Hatta menang di Penjara Khusus
Koruptor” (Tempo.co, 9 Juli 2014) atau “Di Lokalisasi Gang Doly Jokowi-JK
Menang” (Viva.co.id, 5 Agustus 2014) jelas merupakan strategi pembingkaian
media. Meski demikian, keduanya dikerjakan dengan kaidah jurnalistik: memiliki
sumber yang jelas dan data yang akurat.
Hal berbeda bisa ditemui pada Seputar Indonesia 11 Juni 2014 mengenai
dugaan kebocoran soal debat capres dan cawapres yang dituduhkan pada kubu
Jokowi-Jusuf Kalla. Berita tersebut jelas catat jurnalistik karena didasarkan
pada sumber yang sumir dan tidak berdasar prinsip cover both sides. Cacat jurnalistik yang sama kita temui pada
berita-berita VOA Islam atau Obor Rakyat yang membilang Jokowi etnis keturunan Tionghoa
atau beragama non-Islam. Berita-berita tersebut bukan karya jurnalistik karena
tidak berdasarkan fakta akurat, sumber yang jelas, dan prinsip cover both sides.
Pada kenyataannya, publik sering
kali mengabaikan kualitas informasi media dan mengedepankan preferensi politik
atau ideologi. Kebenaran informasi tidak diukur dari validitasnya, melainkan
ditentukan oleh kesesuaian dengan pilihan politik. Dari sini kita melihat, apa
yang luput dari kritik publik atas media adalah diterimanya asumsi media
sebagai sumber informasi yang “benar”. Kritik atas keberpihakan media tidak
dilanjutkan menjadi kritik atas kredibilitas informasi media. Dalam kata lain, maraknya
kritik publik lebih merupakan kritik preferensi politik media, dan bukan kritik
atas otoritas media dalam menyampaikan informasi.
Apa yang kita perlukan dalam
waktu-waktu ke depan adalah desakraliasi otoritas media, sehingga publik
memahami bahwa informasi yang dihasilkan media bukan wahyu yang tak bisa
dipertanyakan. Idealnya, diskusi atau perdebatan publik dilakukan di atas pertanyaan
mengenai validitas informasi media. Hanya dengan begitu dialog bisa dicapai,
karena tanpanya yang terjadi adalah seolah diskusi padahal masing-masing
bercakap sendiri.
Dimuat di Koran Tempo, 21 Agustus 2014.